Sabtu, 11 Februari 2017

makalah (Peran Civil Society dalam Mewujudkan Demokrasi yang Berkeadilan di Indonesia)


Peran Civil Society dalam Mewujudkan Demokrasi yang Berkeadilan di Indonesia
Disusun Oleh:


Andriani Arisa Safitri (16650039)


Jurusan Teknik Informatika
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia-Nya kami diberi kesempatan bekerja sama untuk menyelesaikan makalah ini. Dengan penulisan makalah yang berjudul “Peran Civil Society dalam Mewujudkan Demokrasi yang Berkeadilan di Indonesia” ini kami berharap dapat memberi manfaat bagi kita semua. Kami juga menggucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan pengarahan-pengarahan serta masukan dalam pembuatan makalah ini..
Tidak lupa Penulis ucapkan terimakasih kepada dosen dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya.
Oleh sebab itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman. Amin...
Demikianlah yang kami dapat paparkan dalam makalah ini kalau ada kata yang kurang mohon di maafkan sekian dan terima kasih.

Malang, 06 Desember 2016

Kelompok4



DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN
  A. LATAR BELAKANG ……………………………………………………1
  B. RUMUSAN MASALAH ………………………………………………… 2
  C. TUJUAN …………………………………………………………………. 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.    KONSEP CIVIL SOCIETY………………………………………………3
B.     DEMOKRASI …………………………………………………………… 6
BAB III PEMBAHASAN
A.    PERAN CIVIL SOCIETY………………………………………………14
B.     TANTANGAN CIVIL SOCIETY………………………………………20
BAB IV KESIMPULAN
A.    KESIMPULAN …………………………………………………………..31
B.     SARAN …………………………………………………………………..31
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………32
LAMPIRAN……………………………………………………………………33

 

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  LATAR BELAKANG
Pelaksanaan demokrasi di Indonesia bertujuan untuk kepentingan bangsa dan negera Indonesia, yaitu mewujudkan tujuan nasional. Pelaksanaan demokrasi juga diarahkan untuk civil society (masyarakat madani), di dalamnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara sangatlah besar. Dalam masyarakat madani partisipasi dan kemandiriaan masyarakat sangat di perlukan untuk menyukseskan tujuan pembangunan nasional khususnya, dan umumnya tujuan Negara.
Menurut pandangan Welzer (1999:1) masalah civil society yang di Indonesia disebut “masyarakat madani”, yang kini menjadi pusat perhatian dan perdebatan akademis di berbagai belahan bumi, merupakan pengulangan kembali perdebatan “American Liberalisme/ communitarianism” yang terpusat pada persoalan: the state atau negara di satu pihak, dan civil society di lain pihak, yang sesungguhnya di antara tersebut satu sama lain saling berkaitan. Menurut Welzer (1999) seorang civil republikan, Jacobin, yang memihak pada pandangan pentingnya negara, berpendapat bahwa dalam kehidupan ini hanya ada satu komunitas yng dianggap penting, yakni “the political community” atau masyarakat politik yang anggotanya adalah warga negara yang kesemuanya dilihat sebagai active participant in democratic decision making atau partisipan yang aktif dalam pengambilan keputusan yang demokratis.
Di Indonesia, sebagaimana telah dibahas terdahulu, konsep masyarakat madani ini terhitung masih baru dan masih banyak diperdebatkan, baik istilah maupun karateristiknya. Misalnya, Culla (1999:3; Raharjo:1999) memandang istilah masyarakat madani hanyalah salah satu dari berbagai istilah sebagai padanan kata civil society. Selain itu, masih ada beberapa padanan istilah lainnya, seperti masyarakatwarga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab, masyarakat berbudaya. Sementara itu, Tim Nasionol Reformasi Menuju Masyarakat Madani (1999:32) menyarankan untuk menggunakan istilah masyarakat madani sebagai terjemahan dari civil society.
Dalam perjalanan sejarah bangsa, sejak kemerdekaan hingga sekarang, banyak pengalaman dan pelajaran yang dapat diambil, terutama pelaksanaan demokrasi di bidang politik. Ada tiga macam demokrasi yang pernah diterapkan dalam kehidupan ketatanegaraan indonesia, yaitu demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan demokrasi pancasila.

1.2  RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Peran Civil Society ?
2.      Bagaimana Tantangan Civil Society?
1.3  TUJUAN
1.      Untuk Mengetahui Peran Civil Society
2.      Untuk Mengetahui Tantangan Civil Society
BAB II
PEMBAHASAN
A.                Konsep Civil Society
1.                  Pengertian
Pertama, definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan civil society adalah sesuatu masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalakan dimana ruang di mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Dengan kata lain civi society adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara. Ciri-ciri civi society, yakni individualisme, pasar (market) dan pluralism.
Kedua, (Han Sung-Joo) dengan latar belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan civi society merupakan sebuah kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela yang terbebas dari negara, suatu ruang public yang mampu mengartikulasikan isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan terdapat kelompok inti dalam civi society ini.
Konsep ini mengandung emapt ciri dan prasyarat bagi terbentuknya civi society, yaitu:
1.      Diakui dan dilindungi hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat serta mandri dari negara.
2.      Adanya ruang public yang memberikan kebebasan bagi siapapun dalam mengartikulasikan isu-isu politik.
3.      Terdapat gerakan-gerakan kemasayarakatan yang berdasar pada nilai-nilai budaya tertentu.
4.      Terdapat kelompok inti diantara  kelompok  pertengahan yang mengakar dalam masyarakat yang menggerakkan masyarakat dan melakukan modernisasi sosial ekonomi.

Ketiga, (Kim Sunhyuk) dalam konteks Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan civi society adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relative otonom dari negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari (re) produksi dan masyarakat politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang public, guna menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka menurut prinsip-prinsip pluralism dan pengelolaan yang mandiri, yang menekankan pada adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang relative memposisikan secara otonom dari pengaruh dan kekuasaan negara.
Dari ketiga pendapatan tersebut kia bida mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud civil society adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, adanya public dalam mengemukakan pendapat , adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingan public.
Masyarakat madani konsep ini merupakan penerjamahan istilah civil society yang pertama kali dikemukakan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim pada Simposjum Nasional dalam rangka Forum Ilmiah pada acar Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Beliau menyebutkan bahwa masyarakat madani adalah system sosial yang subur yang diasakan kepada prinsip moralyang menjamin keeimbangan antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
2.2.2 SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Masyarakat madani merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah masyarakat eropa barat yang mengalami proses transformasi dari kehidupan feodal menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Perkembanagn wacana masyarakat madani sudah di kemukakan pada masa Aristoteles.
pada masa Aristoteles (384-322 SM) masyarakat madani dipahami dipahami sebagai sistem kenegaraan dengan mengguanakan istilah kiononia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat arga terlibat langsung dalam berbagai percaturan ekonomi politik dan pengambilan keputusan. kiononia politike yaitu istilah yang digunakan dalam menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana waga dan negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.hukum sendiri dianggap etos , yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan dari berbagai bentuk interaksi diantara warga negara.
Konsepsi aristoteles diikuti oleh Marcus Tullius Cireco (106-43 SM)  dengan istialah societis civilies, yaitu sebuah komunitas uyang mendominasi komunitas lain. Terma yang dikedepanakanpada konsep negara kota (city-state) adalah untuk menggambarkan kerajaan, kota dan korporasi lainnya sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes(1588-1679 M) dan Jhone Locke (1632-1704). Menurut Hobbes masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu seenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi(pelaku politik) warga negara.sedangkan menurut jhon locke, kehadiran masyarakat madani dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.
Adam Fergusson (1767 M), wacana masyarakat madani dikembangkan denganmengambil sosio-kultural dan politik skotlandia. Ia menekankan masyarakat madani pada sebuah visi etis dalam kehidupa masyarakat. pemahamannnya ini digunakan untuk menganyisipasi perubahn sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu.
Pada tahun 1792 Thomas Paine(1737-1803) muncul wacana masyarakat madani dengan aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya. Ia menggunakan istilah masyarakat madani sebagai kelompok masyarakat yanfg memiliki posisis secara diameteral dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan demikian, maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi terciptanya kesejahteraan umum. Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut paine ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Perkembangan civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M) struktur sosial terbagi menjadi 3 (tiga ) entitas, yakni keluarga , masyarakat madani, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi atau tempat berlangsungnya percaruana bebagai kepentingan pribadi dan golonagan terutama kepentingan ekonimi. Sementara negara merupakan representasi ide universal yang bertugas melindungi kepentingan politik wargaya dan berhak penuh untuk intervensi terhadap masyarakat madani. Karenanya negara dan masyarakat madani merupakan 2 (dua) entitas yang saling memperkuat satu sama lain. 
Karl Marx (1818-1883 M) memehami masyarakat  madani sebagai “masyarakat sebagai masyarakat biorjuis” dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan masyarakat tanpa kelas.
Antonio Gramsci (1837-1891) memahami bahwa masyarakat madani pada sisi ideologis, dan meletakkannya pada susperstruktur yang berdamingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perebutan posisi hegemonik diluar kekuatn negara. Di dalamnya aparat hegemoni mengembangkan hegemoni untuk membenetuk konsensusdalam masyarakat. Pada pemahamannya ia memberikan tekanan pada kekuatan cendikiawan yang merupakan aktor utama dalam proses parubahan sosisl dan politik.
Alexis De ‘Tocqueville (1805-1859 M) mengemkakan bahwa masyarakt madani sebagai enititas penyeimbang kekuatn negara. Bagi De ‘Tocqueville, kekuatan politik dan masyarkat madanilah yang menjadikan demokrasi di Amerika punya daya tahan. Deangan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan  kapasitas politik di dalam msyarakat madani , Maka warga negara akan mampu mengmbangi dan mengontrol kekuatan negara. Ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang (balancing force) untuk menahan kecenderungan interversionis negara. Masyarakat madani tidak hanya beorientasi pada kepentingan individual, tetepi juga sensitif terhadap kepentingan publik.
            Tidak seperti yang dikembangkan oleh hegelian, paradigma Tocqueville ini lebih menekannkan pada masyarakat madani sebagai sesuatau yang tidak apriori subordinatif terhadap negara. Ia bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang (balancing force) untuk menehan kecenderungan intervensionis negara. tidak hanya itu, ia bahkan menjadi sumber legitimasi negara serta pada saat yang sama mampu melahirkan kritis reflektif (reflective force) untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebbagi akibat proses formasi sosial modern. Masyarakat madani tidak hanya berorientasi pada kepentingan individual, tetapi juga sensitif pada kepentingan publik.
            Dari berbagi model pengembangan masyarakat madani diatas, model gramsci dan Tocqueville- lah yang menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di Eropa timur dan tengah pada sekitar akhir dasawarsa 80-an. Pengalaman eropa timur dan tengah tersebut membuktikan bahwa justru dominasi negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial mereka. Hal ini berarti bahwa gerakan membangun masyarakat madani menjadi perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga negara. gagasan tentang masyarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk membebaskan diri dari cengkeraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreasi  dan kemandirian masyarakat.
Seperti diketahui bahwa masyarakat madani merupakan wacana yang berkembang dan berasal dari kawasan eropa barat. Hal ini berati bahwa pertumbuhan dan perkembangan wacana tersebut tidak terlepas dari kondisi sosio-kulutral, politik dan eknomi yang berkembang pada saat itu.
            Masyarakat madani jiaka dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat demokrasi danmenjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini di berlakukan ketiak negara sebagai penguasa dan pemerintah tidak bisa menegakkan demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda kepemerintahannya. Disinilah kemudian, konsep masyarakat madani menjadi alternatif pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah uyang pada akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat sipil yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
            Sosok masyarakat madani bagaikan barang antik yang memiliki daya tarik yang amat mempesona. Kehadirannya yang mampu menyemarakkan wacana politik kontempoter dan meniupkan arah baru pemikran politik, buakn dikarenakan kondisi barangnya yang sama sekali baru, melainkan disebabkan tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyrakat yang lebih baik.
Sosok masyarakat madani bagaikan barang antik yang memiliki daya tarik yang amat mempesona. Kehadirannya mampu menyemarakkan wacana politik kontemporer dan meniupkan wacana baru pemikiran politik, karena tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyarakat yang lebih baik.
Berbicara tentang kemungkinan berkeembangnya masyarakat madani di indonesia diawali dengan kasus-kasus penyelenggaraan HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang mempunyai kekuatan dan bagian dari social control. Sejak zaman orde lama dengan rezim Demokrasi Terpimpinnya Soekarno, sudah terjadi manipulasi peran serta masyarakat untuk kepentinagan politis dan terhegomoni sebagai alat legitimasi poltik. hal ini pada akhirnya melibatkan kegiatan dan usaha yang dilakukan oleh anggota masyarakat dicurigai sebagia kontra-revolusi. Fenomena tersebut merupakan salah satu indikasi bahwa diindonesia pada masa soekarno pun mengalami kecenderungan untuk membatasi gerak dan kebebasan publik dalam mengeluarkan pendapat.
Sampai pada masa orde bau pun pengekangan demokrasi dan penindasan hak asasi manusia tersebut kian terbuka seakan menjadi tontonan gratis yang bisa dinikmati oleh siapapun bahkan untuk segala usia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai contoh kasus yang pada masa orde baru berkkembang. Misalnya kasus pembrendelan lembaga pers, seperti AJI, DETIK, dan TEMPO. Fenomena ini merupakan sebuah fragmentasi kehidupan yang mengekang kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya di muka umum.
Pengambilan hak tanah rakyat oleh penguasa denga alasn pembangunan, pembangunan yang sebenarnya bersifat semu. Di sisi lain, pada era orde baru banya terjadi tindakan-tindakan anarkisme yang dilakukan oleh masyarakat sendori. Hal ini salah satu indikasi bahwa di indonesia-pada saat itu- tidak dan belum menyadari pentingnya toleransi dan semangat pluralisme.
Melihat itu semua, maka secara esensial masyarakat indonesia memeng membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komerhnsif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai Hak Asasi Manusia.untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyrakat madani dengan menerapkan strategi pemberdayaannya sekaligus agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Menurut Damawan, ada tiga (3) strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi dalam memberdayakan masyarakat indonesia.
1.      Strategi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbagsa dan bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini pelaksana demokrasi ini liberal hanya akan menimbulkan konflik dan menjadi sumber instabilitas polotik. Saat ini yang diperluukan adalah stabilitas politik sebagai landasan pembangunan, karena pembangunan lebih yang terbuka terhadap perekonomian global membutuhkan resiko politik yang minim. Dengan demikian kesatuan dan persatuan bangsa lebih diutamakan.
2.      Strategi reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap-tahap pembagunan ekonomi. sejak awal dan secara bersama-sama diperlukan proses demoktratisasi yang pada esensinya adalah memperkuat partisipasi politik.
3.      Strategi yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari strategi pertama dan kedua. Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yang makin luas.
2.2.3 KARAKTERISTIK CIVIL SOCIETY
Karakteristik civil society, yaitu:
1.      Free Public Sphare
Yang dimaksud dengan free public sphare adalah adanya ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Warga negara berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta mepublikasikan informasi kepada public.
2.      Demokratis
Demikratis merupakan satu entita yang menjadi penegak wacana civil society, dimana dalam menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas kesehariannya , termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
3.      Toleran
Toleransi memungkinkan akan  adanya kesadaran masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang berbeda. Toleransi menurut Nurcholish Madjid merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu.
4.      Pluralism
Menurut Nurcholish Madjid, konsep pluralism merupakan pertalian sejati kebhinikaan dalam ikatan-ikatan. Bahkan pluralisme juga suatu keharusan bagi keselamatan manusia lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
5.      Keadilan Sosial
Keadilan disebutkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadapa hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan.
2.2.4 PILAR PENEGAK CIVIL SOCIETY
            Yang dimaksud dengan pilar penegak civil society adalah institusi-institusi yang menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan  penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan civil society pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya kekuatan civil society. Pilar-pilar tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.
            Lembaga Swadaya Masyarakat; adalah institusi sosial yang dbentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu LSM dalam konteks civil society juga bertugas mengadakan empowering (peemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi program-program pembangunan masyarakat.
            Pers; merupakan institusi penting dalam penegakan civil society, karena memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya. Hal tersebut pada akhirnya mengarah pada adanya independensi pers serta mampu menyajikan berita secara objektif dan transparan.
            Supremasi Hukum; setiap warga negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum. Hal tersebut berarti bahwa perjuangan untuk mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dengan pemerintah haruslah dilakukan dengan cara-cara yang damai dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
            Selain itu, supremasi hukum juga memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak asasi manusia, sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.
            Perguruan Tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa) merupakan bagian dari kekuatan sosial dan civil society yang bergerak pada jalur moral force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh mahasiswa tersebut masih pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada rel dan realitas yang betul-betul objektif, menyuarakan kepentingan masyarakat (public).
            Sebagai bagian dari pilar penegak civil society , maka Perguruan Tinggi memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide-ide alternative dan konstruktif untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi masyarakat. Disisi lain Perguruan Tinggi memiliki “Tri Dharma Perguruan Tinggi” yang harus dapat diimplementasikan berdasarkan kebutuhan masyarakat (public).
            Menurut Riswanda Immawan, Perguruan Tinggi memiliki 3 (tiga) peran yang strategis dalam mewujudkan civil society, yakni:
1.      Pemihakan yang tegas pada prinsip egalitarianism yang menjadi dasar kehidupan politik yang demokratis.
2.      Membangun political safety net, yakni dengan mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan tidak manipulatif. Political safety net ini setidaknya dapat mencerahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka terhadap informasi.
3.      Melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang santun, saling menghormati, demokratis serta meninggalkan cara-cara yang agitatif dan anarkis.
Partai Politik; merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya. Sekalipun memiliki tendensi politis dan rawan akan hegemoni negara, tetapi bagaimanapun sebagai sebuah tempat ekskresi politik warga negara, maka partai politik ini menjadi prasyarat bagi tegaknya civil society.
2.2.5 CIVIL SOCIETY DAN DEMOKRATISASI
Dalam civil society, warga Negara bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas kemanusiaan yang bersifat non-governmental untuk mencapai kebaikan bersama (public good). Karena itu, tekanan sentral civil society adalah teletak pada independensinya terhadap negara (vis a vis the state). Dari sinilah kemudian civil society dipahami sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan demokratisasi.
Civil society juga dipahami sebagai sebuah tatanan kehidupan yang menginginkan kesejajaran hubungan antar warga negara dengan negara atas dasar prinsip saling menghormati. Civil society berkeinginan membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antar warga negara dan Negara. Civil society juga tidak hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga negara sebagai pemegang hak dan kebebasan yang sama. (Ramlan Surbakti; 1995)
Hubungan antara civil society dengan demokrasi (demokratisasi), menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat ko-eksistensi. Hanya dalam civil society yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana demokratislah civil society dapat berkembang secara wajar.
Dalam konteks ini, Nurcholis Madjid pun memberikan metaphor tentang hubungan dan keterkaitan antara civil society dengan demokratisasi ini. Menurutnya civil societymerupakan ”rumah” persemaian demokrasi. Perlambang demokrasinya adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan rahasia. Namun demokrasi tidak hanya bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus mempunyai “rumah”, maka rumahnya adalah civil society.
Begitu kuatnya kaitan antara civil society dengan demokratisasi, sehingga civil society kemudian dipercaya sebagai “obat mujarab” bagi demokratisasi, terutama di negara yang demokrasinya mengalami ganjalan akibat kuatnya hegemoni negara. Tidak hanya itu, civil society kemudian juga dipakai sebagai cara pandang untuk memahami universalitas fenomena demokratisasi di berbagai kawasan dan negara.
Menyikapi keterkaitan civil society dengan demokratisasi ini, Larry Diamond secara sistematis menyebutkan ada 6 (enam) kontribusi civil society terhadap proses demokrasi yaitu:
1.      Menyediakan wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan pejabat negara.
2.      Pluralisme dalam civil society, bila diorganisir akan menjadi dasar yang penting bagj persaingan demokratis.
3.      Memperkaya partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan.
4.      Ikut menjaga stabilitas negara.
5.      Tempat menggembleng pimpinan politik.
6.      Menghalangi dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Lebih jauh Diamond menegaskan bahwa suatu organisasi betapapun otonomnya, jika ia menginjak-injak prosedur demokrasi seperti toleransi, kerjasama, tanggung jawab, keterbukaan dan saling percaya, maka organisasi tersebut tidak akan mungkin menjadi sarana demokrasi.
Untuk menciptakan civil society yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan strategi penguatan civil society lebih ditujukan ke arah pembentukan negara secara gradual dengan suatu masyarakat politik yang demoratis partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif negara. Dalam civil society, warga negara disadarkan posisinya sebagai pemilik kedaulatan dan haknya untuk mengontrol pelaksanaan kekuasaan yang mengutamakan rakyat. Gagasan seperti ini mensyaratkan adanya ruang public yang bebas, sehingga setiap individu dalam civil society memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian dan kemampuannya dalam pengolahan wilayah.
Kemandirian dimaksud adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan politik, ekonomi dan budaya. Hak warga negara untuk berpartisipasi dalam organisasi politik harus dijamin, karena dengan partisipasi itu, mereka dapat ikut memberikan  kontribusi dan mempengaruhi hasil keputusan yang boleh jadi keputusan itu mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
Dalam civil society terdapat nilai-nilai universal tentang pluralisme yang kemudian menghilangkan segala bentuk kecendrungan partikularisme dan sektarianisme. Hal ini dalam proses demokrasi menjadi elemen yang sangat signifikan, dimana masing-masing individu, etnis dan golongan mampu menghargai kebhinekaan dan menghormati setiap keputusan yang diambil oleh salah satu golongan atau individu. Bahkan menurut Hikam, dalam civil society tidak hanya kecendrungan partikularisme dan sektarianisme saja yang harus dihindari tetapi juga totalisme dan uniformisme itu ditolak. Karenanya ia menghargai kebebasan individu namun juga menolak anarkisme, memperjuangkan kebebasan berekspresi namun juga menuntut adanya tanggung jawab etik, menolak intervensi negara tetapi juga memerlukan negara sebagai pelindung dan penangkal konflik baik internal maupun eksternal.
Pada dasarnya dalam proses penegakan demorasi (demokratisasi) secara keseluruhan, tidaklah bertolak penuh pada penguatan dan kekuatan civil society, sebab ia bukan “penyelesai” tunggal ditengah kompleksitas problematika demokrasi. Civil society lebih bersifat komplementer dari berbagai strategi demokrasi yang selama ini sudah berkembang. Bedanya, jika dalam strategi “konvensional” lebih menekankan pada formulasi dari “atas”, dengan bentuk institusionalisasi lembaga-lembaga politik, distribusi kekuasaan pemerintah, perwakilan berbagai golongan dan sebagainya. Sedangkan civil society lebih merupakan strategi yang berporos pada lapisan “bawah”, yakni dengan bentuk pemberdayaan dan penguatan masyarakat sipil.
Selain itu, sebagai bagian dari strategi demokratisasi, civil society memiliki perspektif sendiri dalam perjuangan demokrasi dan memiliki spectrum yang luas dan berjangka panjang. Dalam perspektif civil society demokratisasi tidak hanya dimaknai sebagai posisi diametral dan antitesa negara, melainkan bergantung pada situasi dan kondisinya. Ada saatnya demokratisasi melalui civil society harus garang dan keras terhadap pemerintah, namun ada saatnya civil society juga harus ramah dan lunak.
Menyikapi hal ini, John Keane mengilustrasikan bahwa civil society bukanlah musuh bebuyutan negara juga bukan sahabat kental kekuasaan negara. Tatanan yang lebih demokratis tidak bisa dibangun tanpa kekuasaan negara, tetapi juga tidak bisa dibangun tanpa kekuasaan negara, sebab jika legitimasi kekuasaan runtuh, civil society pun terancam mengalami fragmentasi. Lebih jauh Azyumardi Azra mengatakan bahwa civil society lebih dari sekadar gerakan pro-demokrasi. Civil society juga mengacu pada kehidupan masyarakat yang berkualitas dan tamaddun (civility). Dengan nada serupa, Henningsen mengungkapkan bahwa civil society bukanlah sekadar gerakan anti-totaliter, tetapi lebih merefleksikan fungsi kebaikan masyarakat modern (a well functioning modern society).
Jadi memmbicarakan hubungan demokrasi dengan civil society merupakan discourse yang memiliki hubungan korelatif dan berkaitan erat. Dalam hal ini Arief Budiman mengatakan bahwa berbicara mengenai demokrasi biasanya orang akan berbicara tentang interaksi antara negara dan civil society. Asumsinya adalah, jika civil societyvis a vis negara relatif kuat maka demokrasi akan tetap berlangsung. Sebaliknya, jika negara kuat dan civil society lemah maka demokrasi tidak berjalan. Dengan demikian, demokratisasi dipahami sebagai proses pemberdayaan civil society.
Lebih lanjut Arief mengatakan bahwa proses pemberdayaan tersebut akan terjadi jika pertama apabila berbagai kelompok masyarakat dalam civil society mendapat peluang untuk lebih banyak berperan, baik pada tingkat negara maupun masyarakat, kedua, jika posisi kelas tertindas berhadapan dengan kelas yang dominan menjadi lebih kuat yang berarti juga terjadinya proses pembebasan rakyat dari kemiskinan dan ketidakadilan.
Berkaitan dengan demokratisasi ini, maka menurut M. Dawam Rahardjo ada beberapa asumsi yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila civil society menjadi kuat baik melalui perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri, melalui perlawanan terhadap negara ataupun melalui proses pemberdayaan (termasuk oleh pemerintah). Kedua, demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan negara dikurangi atau dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan efisiensi institusi melalui interaksi, perimbangan dan pembagian kerja yang saling memperkuat antara negara dan pemerintah sendiri. Ketiga, demokratisasi bisa berkembang dengan meningkatkan kemandirian dan independensi civil society dari tekanan dan kooptasi negara.









BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Demokratisasi tidak dapat lepas dari civil society.  Antara demorkratisasi dan civil society saling berkaitan.  Demokrasi tercipta apabila civil society menginginkan kebebasan antar individu. Kebebasan yang dimaksud seperti kebebasan dalam memeluk agama, mengutarakan pendapat dan lain sebagainya.  Hal tersebut dilakukan agar tercipta suatu keadilan dan keseimbangan antar masyarakat. Civil society terbentuk dari proses-proses demokrasi.

3.2  SARAN
Masyarakat harus memiliki sikap toleransi saling menghargai antar umat manusia atas segala perbedaan seperti perbedaan suku,  ras,  agama dan lain lain. Selain it,  juga diperlukan pendidikan mengenai politik, moral, dan budaya. Pendidikan tersebut berguna agar masyarakat lebih memahami makna dari demokrasi serta hal-hal yang perlu dilakukan agar demokrasi dapat tercapai.




DAFTAR PUSTAKA

Azra, Ayzumardi.2013.Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat      Madani.Jakarta:ICCE Syarif Hidayatullah Jakarta
Budiman, Arief, State and Civil Society, Clayton: Monash Paper Shoutheast Asia No.22 tahun 1990
Deden, M. Ridwan, dan Nurjulianti, Dewi, Pembangunan Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: LSAF, 1999, cet.ke-1
Gelner, Ernest Membangun Masyarakat Sipil, Persyarat Menuju Kebebasan, Bandung: Mizan, 1995 cet.I
Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1999, cet.ke-2
Usman, Widodo, dkk,(ed) Membakar Mitos Masyarakat Madani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000 cet.ke-2
Rahrdjo, M. Dawam, Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES, 1999 cet.ke-1
Suseno, Franz-Magnis, Mencari Sosok Demokrasi, sebuah Telaah Filosofis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997, cet.ke-2


Tidak ada komentar:

Posting Komentar