Disusun Oleh:
Jurusan Teknik Informatika
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya kami diberi kesempatan bekerja sama untuk
menyelesaikan makalah ini. Dengan penulisan makalah yang
berjudul “Peran Civil Society dalam Mewujudkan Demokrasi yang
Berkeadilan di Indonesia” ini kami berharap dapat memberi
manfaat bagi kita semua. Kami juga menggucapkan banyak terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan pengarahan-pengarahan serta masukan dalam pembuatan
makalah ini..
Tidak
lupa Penulis ucapkan terimakasih kepada dosen dan teman-teman yang telah
memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya.
Oleh
sebab itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Dan
semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan
teman-teman. Amin...
Demikianlah
yang kami dapat paparkan dalam makalah ini kalau ada kata yang kurang mohon di
maafkan sekian dan terima kasih.
Malang, 06 Desember 2016
Kelompok4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
………………………………………………………… i
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..
ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG ……………………………………………………1
B.
RUMUSAN MASALAH ………………………………………………… 2
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
KONSEP
CIVIL SOCIETY………………………………………………3
B.
DEMOKRASI …………………………………………………………… 6
BAB III PEMBAHASAN
A.
PERAN
CIVIL SOCIETY………………………………………………14
B.
TANTANGAN
CIVIL SOCIETY………………………………………20
BAB IV KESIMPULAN
A.
KESIMPULAN
…………………………………………………………..31
B. SARAN …………………………………………………………………..31
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………32
LAMPIRAN……………………………………………………………………33
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Pelaksanaan
demokrasi di Indonesia bertujuan untuk
kepentingan bangsa dan negera Indonesia, yaitu mewujudkan tujuan nasional.
Pelaksanaan demokrasi juga diarahkan untuk civil society (masyarakat
madani), di dalamnya peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara
sangatlah besar. Dalam masyarakat madani partisipasi dan kemandiriaan
masyarakat sangat di perlukan untuk menyukseskan tujuan pembangunan nasional
khususnya, dan umumnya tujuan Negara.
Menurut
pandangan Welzer (1999:1) masalah civil society yang di Indonesia disebut
“masyarakat madani”, yang kini menjadi pusat perhatian dan perdebatan akademis
di berbagai belahan bumi, merupakan pengulangan kembali perdebatan “American Liberalisme/ communitarianism”
yang terpusat pada persoalan: the state atau negara di satu pihak, dan civil
society di lain pihak, yang sesungguhnya di antara tersebut satu sama lain
saling berkaitan. Menurut Welzer (1999) seorang civil republikan, Jacobin, yang
memihak pada pandangan pentingnya negara, berpendapat bahwa dalam kehidupan ini
hanya ada satu komunitas yng dianggap penting, yakni “the political community”
atau masyarakat politik yang anggotanya adalah warga negara yang kesemuanya
dilihat sebagai active participant in democratic decision making atau
partisipan yang aktif dalam pengambilan keputusan yang demokratis.
Di
Indonesia, sebagaimana telah dibahas terdahulu, konsep masyarakat madani ini
terhitung masih baru dan masih banyak diperdebatkan, baik istilah maupun
karateristiknya. Misalnya, Culla (1999:3; Raharjo:1999) memandang istilah
masyarakat madani hanyalah salah satu dari berbagai istilah sebagai padanan
kata civil society. Selain itu, masih ada beberapa padanan istilah lainnya,
seperti masyarakatwarga, masyarakat kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat
beradab, masyarakat berbudaya. Sementara itu, Tim Nasionol Reformasi Menuju
Masyarakat Madani (1999:32) menyarankan untuk menggunakan istilah masyarakat
madani sebagai terjemahan dari civil society.
Dalam
perjalanan sejarah bangsa, sejak kemerdekaan hingga sekarang, banyak pengalaman
dan pelajaran yang dapat diambil, terutama pelaksanaan demokrasi di bidang
politik. Ada tiga macam demokrasi yang pernah diterapkan dalam kehidupan
ketatanegaraan indonesia, yaitu demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan
demokrasi pancasila.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Peran Civil Society ?
2. Bagaimana Tantangan Civil
Society?
1.3 TUJUAN
1. Untuk
Mengetahui Peran Civil Society
2. Untuk Mengetahui Tantangan Civil Society
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Konsep Civil Society
1.
Pengertian
Pertama,
definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rau dengan latar belakang kajiannya
pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan civil society adalah sesuatu
masyarakat yang berkembang dari sejarah, yang mengandalakan dimana ruang di
mana individu dan perkumpulan tempat mereka bergabung, bersaing satu sama lain
guna mencapai nilai-nilai yang mereka yakini.
Dengan
kata lain civi society adalah sebuah
ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan negara. Ciri-ciri civi society, yakni individualisme,
pasar (market) dan pluralism.
Kedua,
(Han Sung-Joo) dengan latar belakang kasus Korea Selatan. Ia mengatakan civi society merupakan sebuah kerangka
hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu, perkumpulan sukarela
yang terbebas dari negara, suatu ruang public yang mampu mengartikulasikan
isu-isu politik, gerakan warga negara yang mampu mengendalikan diri dan
independen, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya yang
menjadi identitas dan solidaritas yang terbentuk serta pada akhirnya akan
terdapat kelompok inti dalam civi society
ini.
Konsep
ini mengandung emapt ciri dan prasyarat bagi terbentuknya civi society, yaitu:
1. Diakui
dan dilindungi hak-hak individu dan kemerdekaan berserikat serta mandri dari
negara.
2. Adanya
ruang public yang memberikan kebebasan bagi siapapun dalam mengartikulasikan
isu-isu politik.
3. Terdapat
gerakan-gerakan kemasayarakatan yang berdasar pada nilai-nilai budaya tertentu.
4. Terdapat
kelompok inti diantara kelompok pertengahan yang mengakar dalam masyarakat
yang menggerakkan masyarakat dan melakukan modernisasi sosial ekonomi.
Ketiga,
(Kim Sunhyuk) dalam konteks Korea Selatan. Ia mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan civi society adalah suatu
satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri menghimpun
dirinya dan gerakan-gerakan dalam masyarakat yang secara relative otonom dari
negara, yang merupakan satuan-satuan dasar dari (re) produksi dan masyarakat
politik yang mampu melakukan kegiatan politik dalam suatu ruang public, guna
menyatakan kepedulian mereka dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka
menurut prinsip-prinsip pluralism dan pengelolaan yang mandiri, yang menekankan
pada adanya organisasi-organisasi kemasyarakatan yang relative memposisikan
secara otonom dari pengaruh dan kekuasaan negara.
Dari
ketiga pendapatan tersebut kia bida mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
civil society adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri
secara mandiri di hadapan penguasa dan negara, adanya public dalam mengemukakan
pendapat , adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi
dan kepentingan public.
Masyarakat
madani konsep ini merupakan penerjamahan istilah civil society yang pertama
kali dikemukakan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim pada Simposjum Nasional dalam
rangka Forum Ilmiah pada acar Festival Istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta.
Beliau menyebutkan bahwa masyarakat madani adalah system sosial yang subur yang
diasakan kepada prinsip moralyang menjamin keeimbangan antara kebebasan
perorangan dengan kestabilan masyarakat.
2.2.2
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Masyarakat
madani merupakan konsep yang berasal dari pergolakan politik dan sejarah
masyarakat eropa barat yang mengalami proses transformasi dari kehidupan feodal
menuju kehidupan masyarakat industri kapitalis. Perkembanagn wacana masyarakat
madani sudah di kemukakan pada masa Aristoteles.
pada
masa Aristoteles (384-322 SM) masyarakat madani dipahami dipahami sebagai
sistem kenegaraan dengan mengguanakan istilah kiononia politike, yakni
sebuah komunitas politik tempat arga terlibat langsung dalam berbagai
percaturan ekonomi politik dan pengambilan keputusan. kiononia politike
yaitu istilah yang digunakan dalam menggambarkan sebuah masyarakat politis dan
etis dimana waga dan negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.hukum
sendiri dianggap etos , yakni seperangkat nilai yang disepakati tidak hanya
berkaitan dengan prosedur politik, tetapi juga sebagai substansi dasar
kebijakan dari berbagai bentuk interaksi diantara warga negara.
Konsepsi
aristoteles diikuti oleh Marcus Tullius Cireco (106-43 SM) dengan istialah societis civilies, yaitu
sebuah komunitas uyang mendominasi komunitas lain. Terma yang dikedepanakanpada
konsep negara kota (city-state) adalah untuk menggambarkan kerajaan,
kota dan korporasi lainnya sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi ini
dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes(1588-1679 M) dan Jhone Locke (1632-1704).
Menurut Hobbes masyarakat madani harus memiliki kekuasaan mutlak, agar mampu
seenuhnya mengontrol dan mengawasi secara ketat pola-pola interaksi(pelaku
politik) warga negara.sedangkan menurut jhon locke, kehadiran masyarakat madani
dimaksudkan untuk melindungi kebebasan dan hak milik setiap warga negara.
Adam
Fergusson (1767 M), wacana masyarakat madani dikembangkan denganmengambil
sosio-kultural dan politik skotlandia. Ia menekankan masyarakat madani pada
sebuah visi etis dalam kehidupa masyarakat. pemahamannnya ini digunakan untuk
menganyisipasi perubahn sosial yang diakibatkan oleh revolusi industri dan
munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara publik dan individu.
Pada
tahun 1792 Thomas Paine(1737-1803) muncul wacana masyarakat madani dengan
aksentuasi yang berbeda dengan sebelumnya. Ia menggunakan istilah masyarakat
madani sebagai kelompok masyarakat yanfg memiliki posisis secara diameteral
dengan negara, bahkan dianggapnya sebagai anti tesis dari negara. Dengan
demikian, maka negara harus dibatasi sampai sekecil-kecilnya dan ia merupakan
perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi
terciptanya kesejahteraan umum. Dengan demikian, maka masyarakat madani menurut
paine ini adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi
peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas dan tanpa paksaan.
Perkembangan
civil society selanjutnya dikembangkan oleh G.W.F Hegel (1770-1831 M) struktur
sosial terbagi menjadi 3 (tiga ) entitas, yakni keluarga , masyarakat madani,
dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai anggota
masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Masyarakat madani merupakan lokasi
atau tempat berlangsungnya percaruana bebagai kepentingan pribadi dan golonagan
terutama kepentingan ekonimi. Sementara negara merupakan representasi ide
universal yang bertugas melindungi kepentingan politik wargaya dan berhak penuh
untuk intervensi terhadap masyarakat madani. Karenanya negara dan masyarakat
madani merupakan 2 (dua) entitas yang saling memperkuat satu sama lain.
Karl
Marx (1818-1883 M) memehami masyarakat
madani sebagai “masyarakat sebagai masyarakat biorjuis” dalam konteks
hubungan produksi kapitalis, keberadaannya merupakan kendala bagi pembebasan
manusia dari penindasan. Karenanya, maka ia harus dilenyapkan untuk mewujudkan
masyarakat tanpa kelas.
Antonio
Gramsci (1837-1891) memahami bahwa masyarakat madani pada sisi ideologis, dan
meletakkannya pada susperstruktur yang berdamingan dengan negara yang ia sebut
sebagai political society. Masyarakat madani merupakan tempat perebutan posisi
hegemonik diluar kekuatn negara. Di dalamnya aparat hegemoni mengembangkan
hegemoni untuk membenetuk konsensusdalam masyarakat. Pada pemahamannya ia
memberikan tekanan pada kekuatan cendikiawan yang merupakan aktor utama dalam
proses parubahan sosisl dan politik.
Alexis
De ‘Tocqueville (1805-1859 M) mengemkakan bahwa masyarakt madani sebagai
enititas penyeimbang kekuatn negara. Bagi De ‘Tocqueville, kekuatan politik dan
masyarkat madanilah yang menjadikan demokrasi di Amerika punya daya tahan.
Deangan terwujudnya pluralitas, kemandirian dan
kapasitas politik di dalam msyarakat madani , Maka warga negara akan
mampu mengmbangi dan mengontrol kekuatan negara. Ia bersifat otonom dan memiliki
kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang (balancing
force) untuk menahan kecenderungan interversionis negara. Masyarakat madani
tidak hanya beorientasi pada kepentingan individual, tetepi juga sensitif
terhadap kepentingan publik.
Tidak seperti yang dikembangkan oleh
hegelian, paradigma Tocqueville ini lebih menekannkan pada masyarakat madani
sebagai sesuatau yang tidak apriori subordinatif terhadap negara. Ia bersifat
otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi
kekuatan penyeimbang (balancing force) untuk menehan kecenderungan
intervensionis negara. tidak hanya itu, ia bahkan menjadi sumber legitimasi
negara serta pada saat yang sama mampu melahirkan kritis reflektif (reflective
force) untuk mengurangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebbagi akibat
proses formasi sosial modern. Masyarakat madani tidak hanya berorientasi pada
kepentingan individual, tetapi juga sensitif pada kepentingan publik.
Dari berbagi model pengembangan
masyarakat madani diatas, model gramsci dan Tocqueville- lah yang menjadi
inspirasi gerakan prodemokrasi di Eropa timur dan tengah pada sekitar akhir
dasawarsa 80-an. Pengalaman eropa timur dan tengah tersebut membuktikan bahwa
justru dominasi negara atas masyarakatlah yang melumpuhkan kehidupan sosial
mereka. Hal ini berarti bahwa gerakan membangun masyarakat madani menjadi
perjuangan untuk membangun harga diri mereka sebagai warga negara. gagasan
tentang masyarakat madani kemudian menjadi semacam landasan ideologis untuk
membebaskan diri dari cengkeraman negara yang secara sistematis melemahkan daya
kreasi dan kemandirian masyarakat.
Seperti
diketahui bahwa masyarakat madani merupakan wacana yang berkembang dan berasal
dari kawasan eropa barat. Hal ini berati bahwa pertumbuhan dan perkembangan
wacana tersebut tidak terlepas dari kondisi sosio-kulutral, politik dan eknomi
yang berkembang pada saat itu.
Masyarakat madani jiaka dipahami
secara sepintas merupakan format kehidupan alternatif yang mengedepankan semangat
demokrasi danmenjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Hal ini di
berlakukan ketiak negara sebagai penguasa dan pemerintah tidak bisa menegakkan
demokrasi dan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan roda kepemerintahannya.
Disinilah kemudian, konsep masyarakat madani menjadi alternatif pemecahan,
dengan pemberdayaan dan penguatan daya kontrol masyarakat terhadap
kebijakan-kebijakan pemerintah uyang pada akhirnya nanti terwujud kekuatan
masyarakat sipil yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang
demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Sosok masyarakat madani bagaikan
barang antik yang memiliki daya tarik yang amat mempesona. Kehadirannya yang
mampu menyemarakkan wacana politik kontempoter dan meniupkan arah baru pemikran
politik, buakn dikarenakan kondisi barangnya yang sama sekali baru, melainkan
disebabkan tersedianya momentum kondusif bagi pengembangan masyrakat yang lebih
baik.
Sosok
masyarakat madani bagaikan barang antik yang memiliki daya tarik yang amat
mempesona. Kehadirannya mampu menyemarakkan wacana politik kontemporer dan
meniupkan wacana baru pemikiran politik, karena tersedianya momentum kondusif
bagi pengembangan masyarakat yang lebih baik.
Berbicara
tentang kemungkinan berkeembangnya masyarakat madani di indonesia diawali
dengan kasus-kasus penyelenggaraan HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat,
berserikat dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat di muka umum kemudian
dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah yang
mempunyai kekuatan dan bagian dari social control. Sejak zaman orde lama dengan
rezim Demokrasi Terpimpinnya Soekarno, sudah terjadi manipulasi peran serta
masyarakat untuk kepentinagan politis dan terhegomoni sebagai alat legitimasi
poltik. hal ini pada akhirnya melibatkan kegiatan dan usaha yang dilakukan oleh
anggota masyarakat dicurigai sebagia kontra-revolusi. Fenomena tersebut
merupakan salah satu indikasi bahwa diindonesia pada masa soekarno pun
mengalami kecenderungan untuk membatasi gerak dan kebebasan publik dalam
mengeluarkan pendapat.
Sampai
pada masa orde bau pun pengekangan demokrasi dan penindasan hak asasi manusia
tersebut kian terbuka seakan menjadi tontonan gratis yang bisa dinikmati oleh
siapapun bahkan untuk segala usia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai contoh
kasus yang pada masa orde baru berkkembang. Misalnya kasus pembrendelan lembaga
pers, seperti AJI, DETIK, dan TEMPO. Fenomena ini merupakan sebuah fragmentasi
kehidupan yang mengekang kebebasan warga negara dalam menyalurkan aspirasinya
di muka umum.
Pengambilan
hak tanah rakyat oleh penguasa denga alasn pembangunan, pembangunan yang
sebenarnya bersifat semu. Di sisi lain, pada era orde baru banya terjadi
tindakan-tindakan anarkisme yang dilakukan oleh masyarakat sendori. Hal ini
salah satu indikasi bahwa di indonesia-pada saat itu- tidak dan belum menyadari
pentingnya toleransi dan semangat pluralisme.
Melihat
itu semua, maka secara esensial masyarakat indonesia memeng membutuhkan
pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komerhnsif agar memiliki wawasan
dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai Hak
Asasi Manusia.untuk itu, maka diperlukan pengembangan masyrakat madani dengan
menerapkan strategi pemberdayaannya sekaligus agar proses pembinaan dan
pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Menurut
Damawan, ada tiga (3) strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai
strategi dalam memberdayakan masyarakat indonesia.
1. Strategi
nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem demokrasi tidak
mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbagsa dan
bernegara yang kuat. Bagi penganut paham ini pelaksana demokrasi ini liberal
hanya akan menimbulkan konflik dan menjadi sumber instabilitas polotik. Saat
ini yang diperluukan adalah stabilitas politik sebagai landasan pembangunan,
karena pembangunan lebih yang terbuka terhadap perekonomian global membutuhkan
resiko politik yang minim. Dengan demikian kesatuan dan persatuan bangsa lebih
diutamakan.
2. Strategi
reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk
membangun demokrasi tidak usah menunggu rampungnya tahap-tahap pembagunan
ekonomi. sejak awal dan secara bersama-sama diperlukan proses demoktratisasi
yang pada esensinya adalah memperkuat partisipasi politik.
3. Strategi
yang memilih membangun masyarakat madani sebagai basis yang kuat ke arah
demokratisasi. Strategi ini muncul akibat kekecewaan terhadap realisasi dari
strategi pertama dan kedua. Dengan begitu strategi ini lebih mengutamakan
pendidikan dan penyadaran politik, terutama pada golongan menengah yang makin
luas.
2.2.3
KARAKTERISTIK CIVIL SOCIETY
Karakteristik
civil society, yaitu:
1. Free
Public Sphare
Yang
dimaksud dengan free public sphare adalah adanya ruang public yang bebas
sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat. Warga negara berhak melakukan
kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul,
serta mepublikasikan informasi kepada public.
2. Demokratis
Demikratis
merupakan satu entita yang menjadi penegak wacana civil society, dimana dalam
menjalani kehidupan, warga negara memiliki kebebasan penuh untuk menjalankan
aktivitas kesehariannya , termasuk dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
3. Toleran
Toleransi
memungkinkan akan adanya kesadaran
masing-masing individu untuk menghargai dan menghormati pendapat serta
aktivitas yang dilakukan oleh kelompok masyarakat lain yang berbeda. Toleransi
menurut Nurcholish Madjid merupakan persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan
ajaran itu.
4. Pluralism
Menurut
Nurcholish Madjid, konsep pluralism merupakan pertalian sejati kebhinikaan
dalam ikatan-ikatan. Bahkan pluralisme juga suatu keharusan bagi keselamatan
manusia lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan (check and balance).
5. Keadilan
Sosial
Keadilan
disebutkan untuk menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional
terhadapa hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek
kehidupan.
2.2.4
PILAR PENEGAK CIVIL SOCIETY
Yang dimaksud dengan pilar penegak civil society adalah institusi-institusi
yang menjadi bagian dari social control yang
berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan
penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi
masyarakat yang tertindas. Dalam penegakan civil
society pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat mutlak bagi terwujudnya
kekuatan civil society. Pilar-pilar
tersebut antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Pers, Supremasi
Hukum, Perguruan Tinggi dan Partai Politik.
Lembaga Swadaya Masyarakat; adalah
institusi sosial yang dbentuk oleh swadaya masyarakat yang tugas esensinya
adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang
tertindas. Selain itu LSM dalam konteks civil
society juga bertugas mengadakan empowering
(peemberdayaan) kepada masyarakat mengenai hal-hal yang signifikan dalam
kehidupan sehari-hari, seperti advokasi, pelatihan dan sosialisasi
program-program pembangunan masyarakat.
Pers; merupakan institusi penting
dalam penegakan civil society, karena
memungkinkannya dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan
berbagai kebijakan pemerintah yang berkenaan dengan warga negaranya. Hal
tersebut pada akhirnya mengarah pada adanya independensi pers serta mampu
menyajikan berita secara objektif dan transparan.
Supremasi Hukum; setiap warga
negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun sebagai rakyat, harus
tunduk kepada (aturan) hukum. Hal tersebut berarti bahwa perjuangan untuk
mewujudkan hak dan kebebasan antar warga negara dengan pemerintah haruslah
dilakukan dengan cara-cara yang damai dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Selain itu, supremasi hukum juga
memberikan jaminan dan perlindungan terhadap segala bentuk penindasan individu
dan kelompok yang melanggar norma-norma hukum dan segala bentuk penindasan hak
asasi manusia, sehingga terpola bentuk kehidupan yang civilized.
Perguruan
Tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa)
merupakan bagian dari kekuatan sosial dan civil
society yang bergerak pada jalur moral
force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai
kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh
mahasiswa tersebut masih pada jalur yang benar dan memposisikan diri pada rel
dan realitas yang betul-betul objektif, menyuarakan kepentingan masyarakat (public).
Sebagai bagian dari pilar penegak civil society , maka Perguruan Tinggi
memiliki tugas utama mencari dan menciptakan ide-ide alternative dan
konstruktif untuk dapat menjawab problematika yang dihadapi masyarakat. Disisi
lain Perguruan Tinggi memiliki “Tri Dharma Perguruan Tinggi” yang harus dapat
diimplementasikan berdasarkan kebutuhan masyarakat (public).
Menurut Riswanda Immawan, Perguruan
Tinggi memiliki 3 (tiga) peran yang strategis dalam mewujudkan civil society, yakni:
1. Pemihakan
yang tegas pada prinsip egalitarianism yang menjadi dasar kehidupan politik
yang demokratis.
2. Membangun
political safety net, yakni dengan
mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan tidak
manipulatif. Political safety net ini
setidaknya dapat mencerahkan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mereka
terhadap informasi.
3. Melakukan
tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara yang santun, saling menghormati,
demokratis serta meninggalkan cara-cara yang agitatif dan anarkis.
Partai Politik;
merupakan wahana bagi warga negara untuk dapat menyalurkan aspirasi politiknya.
Sekalipun memiliki tendensi politis dan rawan akan hegemoni negara, tetapi
bagaimanapun sebagai sebuah tempat ekskresi politik warga negara, maka partai
politik ini menjadi prasyarat bagi tegaknya civil
society.
2.2.5
CIVIL SOCIETY DAN DEMOKRATISASI
Dalam
civil society, warga Negara
bekerjasama membangun ikatan sosial, jaringan produktif dan solidaritas
kemanusiaan yang bersifat non-governmental untuk mencapai kebaikan bersama (public good). Karena itu, tekanan
sentral civil society adalah teletak
pada independensinya terhadap negara (vis
a vis the state). Dari sinilah kemudian civil
society dipahami sebagai akar dan awal keterkaitannya dengan demokrasi dan
demokratisasi.
Civil society
juga dipahami sebagai sebuah tatanan kehidupan yang menginginkan kesejajaran
hubungan antar warga negara dengan negara atas dasar prinsip saling
menghormati. Civil society berkeinginan
membangun hubungan yang konsultatif bukan konfrontatif antar warga negara dan
Negara. Civil society juga tidak
hanya bersikap dan berperilaku sebagai citizen
yang memiliki hak dan kewajiban, melainkan juga harus menghormati equal right, memperlakukan semua warga
negara sebagai pemegang hak dan kebebasan yang sama. (Ramlan Surbakti; 1995)
Hubungan
antara civil society dengan demokrasi
(demokratisasi), menurut Dawam bagaikan dua sisi mata uang, keduanya bersifat
ko-eksistensi. Hanya dalam civil society
yang kuatlah demokrasi dapat ditegakkan dengan baik dan hanya dalam suasana
demokratislah civil society dapat
berkembang secara wajar.
Dalam
konteks ini, Nurcholis Madjid pun memberikan metaphor tentang hubungan dan
keterkaitan antara civil society
dengan demokratisasi ini. Menurutnya civil
societymerupakan ”rumah” persemaian demokrasi. Perlambang demokrasinya
adalah pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan rahasia. Namun demokrasi tidak
hanya bersemayam dalam pemilu, sebab jika demokrasi harus mempunyai “rumah”,
maka rumahnya adalah civil society.
Begitu
kuatnya kaitan antara civil society
dengan demokratisasi, sehingga civil
society kemudian dipercaya sebagai “obat mujarab” bagi demokratisasi,
terutama di negara yang demokrasinya mengalami ganjalan akibat kuatnya hegemoni
negara. Tidak hanya itu, civil society
kemudian juga dipakai sebagai cara pandang untuk memahami universalitas
fenomena demokratisasi di berbagai kawasan dan negara.
Menyikapi
keterkaitan civil society dengan
demokratisasi ini, Larry Diamond secara sistematis menyebutkan ada 6 (enam)
kontribusi civil society terhadap
proses demokrasi yaitu:
1. Menyediakan
wahana sumber daya politik, ekonomi, kebudayaan dan moral untuk mengawasi dan
menjaga keseimbangan pejabat negara.
2. Pluralisme
dalam civil society, bila diorganisir
akan menjadi dasar yang penting bagj persaingan demokratis.
3. Memperkaya
partisipasi politik dan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan.
4. Ikut
menjaga stabilitas negara.
5. Tempat
menggembleng pimpinan politik.
6. Menghalangi
dominasi rezim otoriter dan mempercepat runtuhnya rezim.
Lebih
jauh Diamond menegaskan bahwa suatu organisasi betapapun otonomnya, jika ia
menginjak-injak prosedur demokrasi seperti toleransi, kerjasama, tanggung
jawab, keterbukaan dan saling percaya, maka organisasi tersebut tidak akan
mungkin menjadi sarana demokrasi.
Untuk
menciptakan civil society yang kuat
dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi diperlukan strategi
penguatan civil society lebih
ditujukan ke arah pembentukan negara secara gradual dengan suatu masyarakat
politik yang demoratis partisipatoris, reflektif dan dewasa yang mampu menjadi
penyeimbang dan control atas kecenderungan eksesif negara. Dalam civil society, warga negara disadarkan
posisinya sebagai pemilik kedaulatan dan haknya untuk mengontrol pelaksanaan
kekuasaan yang mengutamakan rakyat. Gagasan seperti ini mensyaratkan adanya
ruang public yang bebas, sehingga setiap individu dalam civil society memiliki kesempatan untuk memperkuat kemandirian dan
kemampuannya dalam pengolahan wilayah.
Kemandirian
dimaksud adalah harus mampu direfleksikan dalam seluruh ruang kehidupan
politik, ekonomi dan budaya. Hak warga negara untuk berpartisipasi dalam
organisasi politik harus dijamin, karena dengan partisipasi itu, mereka dapat
ikut memberikan kontribusi dan
mempengaruhi hasil keputusan yang boleh jadi keputusan itu mempengaruhi
kehidupan sehari-hari.
Dalam
civil society terdapat nilai-nilai
universal tentang pluralisme yang kemudian menghilangkan segala bentuk
kecendrungan partikularisme dan sektarianisme. Hal ini dalam proses demokrasi
menjadi elemen yang sangat signifikan, dimana masing-masing individu, etnis dan
golongan mampu menghargai kebhinekaan dan menghormati setiap keputusan yang
diambil oleh salah satu golongan atau individu. Bahkan menurut Hikam, dalam civil society tidak hanya kecendrungan
partikularisme dan sektarianisme saja yang harus dihindari tetapi juga
totalisme dan uniformisme itu ditolak. Karenanya ia menghargai kebebasan
individu namun juga menolak anarkisme, memperjuangkan kebebasan berekspresi
namun juga menuntut adanya tanggung jawab etik, menolak intervensi negara
tetapi juga memerlukan negara sebagai pelindung dan penangkal konflik baik
internal maupun eksternal.
Pada
dasarnya dalam proses penegakan demorasi (demokratisasi) secara keseluruhan,
tidaklah bertolak penuh pada penguatan dan kekuatan civil society, sebab ia bukan “penyelesai” tunggal ditengah
kompleksitas problematika demokrasi.
Civil society lebih bersifat komplementer dari berbagai strategi demokrasi
yang selama ini sudah berkembang. Bedanya, jika dalam strategi “konvensional”
lebih menekankan pada formulasi dari “atas”, dengan bentuk institusionalisasi
lembaga-lembaga politik, distribusi kekuasaan pemerintah, perwakilan berbagai
golongan dan sebagainya. Sedangkan civil
society lebih merupakan strategi yang berporos pada lapisan “bawah”, yakni
dengan bentuk pemberdayaan dan penguatan masyarakat sipil.
Selain
itu, sebagai bagian dari strategi demokratisasi, civil society memiliki perspektif sendiri dalam perjuangan
demokrasi dan memiliki spectrum yang luas dan berjangka panjang. Dalam
perspektif civil society
demokratisasi tidak hanya dimaknai sebagai posisi diametral dan antitesa
negara, melainkan bergantung pada situasi dan kondisinya. Ada saatnya
demokratisasi melalui civil society harus
garang dan keras terhadap pemerintah, namun ada saatnya civil society juga harus ramah dan lunak.
Menyikapi
hal ini, John Keane mengilustrasikan bahwa civil
society bukanlah musuh bebuyutan negara juga bukan sahabat kental kekuasaan
negara. Tatanan yang lebih demokratis tidak bisa dibangun tanpa kekuasaan
negara, tetapi juga tidak bisa dibangun tanpa kekuasaan negara, sebab jika
legitimasi kekuasaan runtuh, civil
society pun terancam mengalami fragmentasi. Lebih jauh Azyumardi Azra
mengatakan bahwa civil society lebih
dari sekadar gerakan pro-demokrasi. Civil
society juga mengacu pada kehidupan masyarakat yang berkualitas dan
tamaddun (civility). Dengan nada
serupa, Henningsen mengungkapkan bahwa civil
society bukanlah sekadar gerakan anti-totaliter, tetapi lebih merefleksikan
fungsi kebaikan masyarakat modern (a well
functioning modern society).
Jadi
memmbicarakan hubungan demokrasi dengan civil
society merupakan discourse yang
memiliki hubungan korelatif dan berkaitan erat. Dalam hal ini Arief Budiman
mengatakan bahwa berbicara mengenai demokrasi biasanya orang akan berbicara
tentang interaksi antara negara dan civil
society. Asumsinya adalah, jika civil
societyvis a vis negara relatif kuat maka demokrasi akan tetap berlangsung.
Sebaliknya, jika negara kuat dan civil
society lemah maka demokrasi tidak berjalan. Dengan demikian, demokratisasi
dipahami sebagai proses pemberdayaan civil
society.
Lebih
lanjut Arief mengatakan bahwa proses pemberdayaan tersebut akan terjadi jika pertama apabila berbagai kelompok masyarakat
dalam civil society mendapat peluang
untuk lebih banyak berperan, baik pada tingkat negara maupun masyarakat, kedua, jika posisi kelas tertindas
berhadapan dengan kelas yang dominan menjadi lebih kuat yang berarti juga
terjadinya proses pembebasan rakyat dari kemiskinan dan ketidakadilan.
Berkaitan
dengan demokratisasi ini, maka menurut M. Dawam Rahardjo ada beberapa asumsi
yang berkembang. Pertama, demokratisasi bisa berkembang, apabila civil society menjadi kuat baik melalui
perkembangan dari dalam atau dari diri sendiri, melalui perlawanan terhadap
negara ataupun melalui proses pemberdayaan (termasuk oleh pemerintah). Kedua,
demokratisasi hanya bisa berlangsung apabila peranan negara dikurangi atau
dibatasi tanpa mengurangi efektivitas dan efisiensi institusi melalui
interaksi, perimbangan dan pembagian kerja yang saling memperkuat antara negara
dan pemerintah sendiri. Ketiga, demokratisasi bisa berkembang dengan
meningkatkan kemandirian dan independensi civil
society dari tekanan dan kooptasi negara.
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Demokratisasi tidak dapat lepas dari civil society. Antara demorkratisasi dan civil society
saling berkaitan. Demokrasi tercipta
apabila civil society menginginkan kebebasan antar individu. Kebebasan yang
dimaksud seperti kebebasan dalam memeluk agama, mengutarakan pendapat dan lain
sebagainya. Hal tersebut dilakukan agar
tercipta suatu keadilan dan keseimbangan antar masyarakat. Civil society
terbentuk dari proses-proses demokrasi.
3.2 SARAN
Masyarakat harus memiliki sikap toleransi saling menghargai antar
umat manusia atas segala perbedaan seperti perbedaan suku, ras,
agama dan lain lain. Selain it,
juga diperlukan pendidikan mengenai politik, moral, dan budaya.
Pendidikan tersebut berguna agar masyarakat lebih memahami makna dari demokrasi
serta hal-hal yang perlu dilakukan agar demokrasi dapat tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Azra,
Ayzumardi.2013.Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani.Jakarta:ICCE Syarif
Hidayatullah Jakarta
Budiman,
Arief, State and Civil Society,
Clayton: Monash Paper Shoutheast Asia No.22 tahun 1990
Deden,
M. Ridwan, dan Nurjulianti, Dewi, Pembangunan
Masyarakat Madani dan Tantangan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: LSAF,
1999, cet.ke-1
Gelner,
Ernest Membangun Masyarakat Sipil,
Persyarat Menuju Kebebasan, Bandung: Mizan, 1995 cet.I
Hikam,
Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society,
Jakarta: LP3ES, 1999, cet.ke-2
Usman,
Widodo, dkk,(ed) Membakar Mitos
Masyarakat Madani, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000 cet.ke-2
Rahrdjo,
M. Dawam, Masyarakat Madani: Agama, Kelas
Menengah dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES, 1999 cet.ke-1
Suseno,
Franz-Magnis, Mencari Sosok Demokrasi,
sebuah Telaah Filosofis, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 1997, cet.ke-2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar