Sabtu, 11 Februari 2017

MAKALAH ISBD (KONSERVASI LINGKUNGAN)



KATA PENGANTAR PENULIS
Sejak tragedi gempa dan tsunami di Aceh dan Nias terjdi pada 26 Desember 2004 dan menimbulkan korban tewas lebih dari 200 jiwa, saya mulai tertarik pada masalah lingkungan. Saya juga, sejak itu, mulai merefleksikan kengerian bencana melalui media assa. Peristiwa itu sangat mengesankan dan menyentak kesadaran spiritual saya. Apalagi dalam renatang  2004-2009 di Indonesia terjadi bencana-bencana besar dengan korban massal. Gempa Yogyakarta, banjir dan longsor, gunung meletus, puting beliung, dan lain-lain telah mendorong saya utuk mencari tahu sebab-sebab dan akibat-akibatnya.  Lalu bagaimana pandangan Islam tentang bencana-bencana. Semua peristiwa itu, mendorong saya untuk membaca informasi-informasi sekitar krisis lingkungan, perubahan iklim, dan sejarah bencana yang pernah terjadi dalam peradaban.
Fakta-fakta bencana yang  disebabkan antara lain karena pemanasan global dan pemanasan global disebabkan-yang utama-karena aktivitas industri beabad-abad mansia kemudian memperkuat tekad saya untuk mendalami dan menuliskannya ke dalam karya Disertasi. Buku ini adalah pengebangan dari Disertasi tersebut yang saya lakuan dengan penuh inat tinggi dan sungguh-sungguh, eski di sana-sini masih jauh dari sempurna.
Selanjutnya, saya bersukur kepada Allah yang telah memberikan kepada saya untuk terus memperhatikan ayat-ayat kawniyah-Nya, yakni alam semesta yang terus mengalami agresi manusia melalui aktivitas teknologi dan kerasukan ideoogi kapitalisme liberalnya sehingga menibulkan berbagai krisi lingkungna yang berbuah bencana-bencana. Alam semesta, sebagai ayat-ayat-Nya yang merupakan kitab besar dengan huruf-huruf besar tidak banyak dibaca oleh umat Islam. Umat Islam lebih suka membaca ayt-ayat verbal (awliyyah) dengan huruf-huruf kecil, yaiu Al-Qur'an al-karim. Menurut hemat saya, kini dibutuhkan pembaca, refleksi, dan tindakan yang seimbang antar Ayat-ayat Verbal (al-Qur'an) dan Ayat-Ayat Fi'liyah (Alam Semesta). Keseimbangan ini akan enghasilkan kekuatan intelaktual,moral, dan ilmiah umat Islam untuk ambil bagian di dalam menanggulangi krisis lingkungan baik di tingkat lokal, regional, maupun tingkat global. Karya ini, dengan segala kekurangannya, adalah sebuah upaya menyumbangkan gagasan tentang konservasi lingkungan dalam perspektif Islam.
Karya ini terwujud berkat bantuan dan dorongan semua pihak. Saya menyampaikan terima kasih kepada prof. Dr. Hadi S. Alikodra, MS dan prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA yang memberikan masukan berarti bagi bobot buku ini. Terima kasih yang besar juga saya tujukan kepada Prof. Dr. Suwito, MA, Dr. Fuad Jabali, MA, Dr. Yusuf Rahman, MA yang membaca dan mengoreksi sejumlah hal dan ini memperkuat analisi buku ini. Prof. Dr. Azyumardi Azra,  MA, Prof. Dr. MK Tadjudin, Dr. Muslimin Nasution, APU selaku penguji telah memberikan masukan berharga bagi kesempurnaan buku ini.
Secara kkhusus, saya menyampaikan terima kasih yang besar kepada prof. Dr. HM. Atho Mudzhar, MSPD selaku penguji dan pembimbing yang dengan amat teliti, cermat, dan penuh dedikasi mengusulkan banyak aspek terkait metodologi serta tema-tema Fikih dan Syari'ah. Di samping saran-saran yang amat berharga iitu, belai juga bersedia memberi kata pengantar pada buku ini. Saya, sekali lagi, mengucapkan hutang budi dan terimakasih kepada Prof. Dr. HM.Atho Mudzhar, MPSD dan mereka yagn telah disebutkan di atas. Namun begitu, keseluruhan isi buku ini tetap menjadi tanggung jawab saya.
Selanjutnya, saya menyampaikan terima  kasih pada Penerbit Dian Rakyat yang telah mempublikasikan karya saya ini. Terakhir, penerbit buku ini tidak akan selesai tanpa dorongan, pengertian, dan keharmonisan dan keluarga. Karena itu, saya secara sangat khusus menyampaikan terima kasih kepada isteri tercinta, Sri Haryanti, yang penuh dengna pengertian, kesabaran, dan keharmonisan mendukung dan bahkan membantu mencarikan referensi. Terima kasih yang besar juga disampaikan kepada tiga anak saya M.Alfan Haidar Dhofir, M. Bashara Hadid Dhofir, dan Gibralta Royal Mahadiva Abdullah, yang hak-hak mereka seperti 'terampas' dengan kesuntukan saya selama menulis karya ini. Atas pengertian keluarga, saya menghaturkan seara khusus terimakasih.
Selain itu, saya menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna . Diperlukan pendalaman yang lebih jauh untuk menghasilkan temuan-temuan yang ideal. Atas kekurangan, kedangkalan analisi, dan kesimpulan karya ini saya sepenuhnya mengakuinya. Namun demikian, saya berharap semoga karya yang sedeehana ini dapat menjadi amal bagi saya dan bermanfaat bagi yang lain.
Jakarta, 20 Oktober 2009
Dr. Mudhofir Abdullah

MEMBUMIKAN FIKIH RAMAH LINGKUNGAN
Oleh
Prof. DR. HM.Aho Mudzhar, MSPD (Kepala Badan Litbang da Diklat Departemen Agama)
            Buku yang ada di tangan pembaca pada awlnya adalah disertasi Saudara Mudhofir Abdullah yang dipertahankan di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (juli 2009) dimana saya menjadi salah satu pengujinya. Saya memperoleh kesan bahwa tema ini sangnat relevan di tengah ancaman krisis lingkungan yang telah menyedot perhatian sangat besar bangsa-bangsa di dunia. Penulis buku ini berusaa merespon tangtangan-tantangan krisisnn lingkungan dari perspektif islam. Penulis ingin menjelaskan bahwa dari sisi ajaran, Islam telah meletakkan dasar-dasar dari konservasi lingkungan. Al-Qur’an, hadits dan tradisi pemikiran Islam telah mengungkap sejumlah kearifan terhadap kesejahteraan lingkungan meskipun disajikan secara tidak spesifik.
            Terlepas dari kekurangan buku ini, ada banyak hal yang bisa dikatakan merupakan terobsan dalam mengkaji fikih yang selama ini masih berkutat pada pesoalan-persoalan normatif dan bersifat formal-legaslitik. Diskursus Islam dan lingkungan yang sering disebut sebagai “ Fikih Lingkungan “ (al-fiqih al bi’ah) sejak dekade 1990-an telah memperoleh perhatian intelektual Muslim dan telah ditulis kedalam sejumlah buku. Namun begitu, berbeda dengan isu-isu kesetaraan gender, HAM, dan demokrasi yang memperoleh porsi lebih besar dalam dunia Islam, Isu-isu lingkungan kurang menarik. Isu pemanasan global dan peubahan iklim yang telah memerosotkan  daya dukung bumi telah menimbulkan sejmlah bencana lam belum sepenuhnya disadari sebagai akibat dari aktifitas manusia (antropogenik).
            Aktifitas industri yang ceroboh, kapitalisme liberal yang tanpa batas dan serakah, serta transportasi yang tidak ramah lingkungan telah disadari sebagai penyebab utama krisis lingkungan. Para ahli perubah iklim telah mengingatkan bahwa jika tidak ada tindakan global untuk mengatasi atau mengeram perilaku “bunuh diri” lingkungan (ecocide), maka abad ini (abad ke-21) adalah abad terakhir manusia hidup di bumi. Pernyataan perilaku konsumsi dan industri serta kembali kepada kearifan lingkungan sebagaiman diajrakan oleh agama-agama dan tradisi-tradisi besar dunia. Karena itu, krisi lingkungan dilihat dari argumen ini merupakan cermindari krisis moral dan spiritual.
            Itulah sebabnya, kajian buku ini merupakan pengembangan dari fikih-fikih konvensioal yang lebih menekakan aspek-aspek formal legaslitik. Kajian ini bergerak ke ranah persoalan aktual yang sedang menjadi tema global dan merupakan anti keprihatinan manusia modern, yakni : krisis lingkungan. Karena itu, bisa dikatakan bahwa kajian ini tengah menjajaki sebuah kajian Fikih Lingkungan yang narasi-narasi besarnya telah dikemukakan dalam fikih-fikih klasik. Saya akan coba uraikan mengapa kajian-kajian tetang “Fikih Lingkungan” dangat perlu di urgen. Mengapa kaian “ Fikih Lingkungan” menunutk kecakapan ilmiah intelektual Muslim untk memberikan konstribusi bagi krisis lingkungan global.
A.        Mengapa Fikih Lingkungan ?
Menurut saya, wacana Fikih lingkungan dengan seluruh varianny telah memperkaya perspektif-perspektif stadi Islam di dunia kontemporer. Para ilmuan baik Muslim maupun non Muslim telah mengangkat isu-isu lingkungan dan titik-titik Islam. Pergeseran isu fikih ini terjadiketika gerakan environmentalisme global memerlukan sebuah kerja sama sseluruh bangsa untuk menghaapi fakta-fakta krisis lingkungan yang telah menyajikan bencana-bencana serius. Semua tradisi besar agama-agama dunia terlibat dalam gemuruh penganggulangan krisis lingkungan melalui kontribusi kearifan tradisinya.
            Karya-karya rintisan tentang Fikih Lingkungan atau variannya seperti etika lingkngan Islam dan teologi lingkungan Islam telah memperkaya khazanah gerakan lingkungan global dari sisi ajran Islam. Namun, fikih lingkungan belum menemukan jatih dirinya sebagai suatu disiplin yang mapan. Sebagian besar karya tentang Fikih Lingkungan masih disajikan secara sporadis dalam bentuk makal-makalah. Selain itu , Fikih Lingkungan belum memperoleh sambutan luas di dunia Islam sebagaimana fikih-fikih konvensioanal seperti fikih ibadah, fikih siasah (politik), fikih mawaris (warisan), fikih zakat, fikh wanita, dan lainnya-lainnya. Kenyataan ini memberi penjelasan mengapa Fikih Lingkungan kurang populer, tidak menjadi perhatian besar kaum intelektual Islam, dan belum mejnadi bagian darai kesadaran umat Islam, termasuk oleh dunia pendidikan Islam.
            Fikih Lingkungan sebagai disiplin baru dalam peradaban Islam kontemporer dapat menjadi Instrumen bagi Islam atas gerakan global dalam menghadapi krisis-krisis lingkungan disamping, tentu saja, sebagai cara memperbaiki kualitas lingkungan hidup bagi Umat Islam di negara mereka sendiri. Kerja sama antar sesama negara Islam dan antar bangsa-bangsa di dunia dalam wadah organisasi di bawah naungan PBB (United Nations) dibidang konservasi lingkungan menjadi kecenderungan besar. Ini menandai sebagai gejala sadar lingkungan yang oleh Seyyed Hossein Nasr diebut sebagai suatu ciptaan pertama. Gejala seperti ini pada tingkat negara masing-masing ditinjaklanjuti dengan diundangkannya sejumlah aturan hukum domestik , memasukkan unsur-unsur baru tentang lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Namun, esadaran dan praktik berwawasan lingkungan semacam ini tidak ditindak lanjuti dalam kerangka penciptaan rumusan konsep utama fikih lingkungan yang melekat secara inheren dalam tubh pendidikan serta ritual Islam. Akibatnya, persoalan lingkungan hidup hanya dipandang sebagai semata-mata bersifat duniawayah dan dianggap bukan sebagai bagian organik dari ritual ibadah.
            Menurut Sadok Atallah dan M.Z. Ali Khan bahwa penggunaan kosep Islam untuk mempromosikan kesehatan manusia dan lingkungan, dalam konteks ini di kawasan Mediterania, memperoleh sambutan dan sangat efektif bahkan memperoleh pengakuan Word Healt Organization (WHO). Kasus ini menunjukan masih dipercayainya ajaran Islam sebagai suatu Way of Life yang mengharuskan aplikasinya dalam kehidupan Muslim. Dengan memakai analisis ini, Fikih Lingkungan bisa menjadi instrument kesadaran akan konservasi lingkungan dan menyetubuhkan ke dalam ajaran-ajaran dasar Islam lewat pendidikan. Ijtihad perlu dilakukan untuk menemukan rumusan utama tentang komponen-komponen , Fikih Lingkungan, manajemen konservasi sumbr daya dan lingkungan, serta evaluasi terhadapa implementasinya. Menurut Bruce Mitchel bahwa suatu manajemen sumber daya dan lingkungan (resource and environmental management) memerlukan monitoring dan evaluasi yang di dalamnya melibakan lembaga-lembaga negara,swasta,LSM, tokoh-tokoh masyarakat, kaum agamawan, dan setiap individu. Mitchel, misalnya, merinci cara evaluasi itu dilakukan seperti dengan mengajukan sejumlah pertanyaan : What is happening in the environment ?,  why is it happening?, why is it significant ?, what is being done about it ?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pertanyaan: What has happened since the previous report ?, what further action should be taken?, and what conclusions cen be reached about the perfomance of resource and environmental organizations ? Apa yang dikemukakan oleh Bruce Mitchell adalah contoh bagaimana sebuah monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan sumber daya alam dan lingkungna dilakukan. Konsep-konsep konservasi lingkungan, pada akhirnya, sangat bergantung pada dan dipertarukan oleh implementasinya dilapangan.
Dari contoh yang dijelaskan Bruce Mitchell tersebut konsep-konsep , Fikih Lingkungan yang telah dirumuskan oleh para intelektual Islam, seperti Yusuf Qaradhawi, Musthafa Abu Sway, Mawil Y. Izza Deen, Ibrahim Ozademir, dan lain-lainnya yang bahan-bahan baku ilmiahnya telah disuplai oleh Seyyed Hossein Nasr, Ziauddin Sardar, Nomanul Haqq, dan lain-lainnya perlu dikembngkan e arah yang lebih aplikatif dan operasional. Karya-karya barat dan juga karya-karya Muslim sendiri dapat dimasukkan sebagai komplementer proyek implimentasi Fikih dan etiks Lingkungan Islam di tengah krisis lingkungan global. Dari perspektif  ekoteologi dan ekosofi Islam, aspek-aspek Fikih Lingkungan telah diulas dan dijelaskan dengan sangat reflektif serta mendalam oleh karya-karya para teolog, filosof, dan sufi. Karena itu, urgensi pengembangan Fikih Lingkungan tarafnya sekarang bukan lagi bersifat konseptual tetapi sudah pada taraf implementatif dalam kerangka tarikan nafas kerjasama global menanggulangi krisis-krisis lingkungan.
B.        Fikih Lingkungan Bagi Kebaikan Seluruh Bumi
Urgensi pengembangan Fikih Lingkungan adalah sebuah keniscayaan dan sebuah kemutlakan yanag total. Krisis-krisis lingkungan dewasa ini adalah kenyataan yang telah disadari sebagai sebuah ancaman kepunahan kehidupan di bumi bila langkah-langkah antisipatif tidak dilakukan oleh manusia sejak sekarang. Tidak ada sebuah bangsa di dunia ini yang bisa mengatasi sendiri masalah krisis lingkungan . Juga tak ada bangsa yang dapat menghindarkan diri dari krisis-krisis lingkungan yang terjadi di bagian atau kawasan lain. Saling ketergantngan di antara bangsa-bangsa di duni membuat satu sama lain saling memengaruhi. Jadi, darisudut kerjasama global , Fikih lingkungan atau etika lingkungan Islam adalah pintu masuk untuk menrikan kontribusi kearifan lingkungan dan untuk ikut ambil bagian di dalam gerakan global atasi krisis lingkungan, ini di suatu sisi. Di sisi lainnya, jumlah umat Islam di duni ada adalah seperenam atau sekitar 1,1 miliyar dari 6 miliyar lebih penduduk dunia. Artinya, potensi umat Islam sangat besar sebagai pendukung dan penopang gerakan lingkungan global. Dengan meletakkan ajaran Fikih Lingkungan atau turunnya (etika lingkungan atau teologi lingkungan Islam) ke dalam kesadaran umat Islam dan melalui lembaga-lembaga pendidikan , maka ia akan menjadi instrumen yang kuat bagi tindakan konservasi lingkungan.
Selanjutnya, urgensi pengembangan Fikih Lingkungan selain alasan-alasan di atas juga yang terpenting adalah karena potensinya yang menjanjikan bagi masa depan, khusunya lingkungan hidup Muslim. Ziauddin Sardar menegaskan bahwa cita-cita akhir sistem Muslim adalah memantapkan lingkungannya danberusaha mendapatkan perkembanagan yang sehat. Cita-cita ini, menurut Sardar, juga merupakan suatu  kewajiban : dunia mempunyai hak atas perdamaian Muslim. Menjadi tugas peradaban Muslimlah utuk menjaga dan mempertahanakan lingkungannya. Potensi peradaban Muslim sangat konstruktif bagi konservasi lingkungan. Peradaban Muslim sebagian masih hidup, dan lengkap dengan nilai-nilainya, tradisi-tradisinya, budayanya, dan tinjauan dunianya (word-view). Peradaban semacam ini memiliki banyak sekali hal untuk ditawarkan kepada dunia, terutama bagi gerakan menanggulangi krisis lingkungan. Dengan demikian, umat Islam harus memberi perhatian aktif, demi kesejahteraanya sendiri maupun demi kebaikan seluruh bumi ini, pada krisis global yang timbul, seperti kemerosotan bidang-bidang kehidupan, kekurangan pangan, peledekan penduduk, penipisan sumber-sumber daya alam dan inflasi serta ketidakstabilam moneter. Ini semua dan masalah-masalah serta kecenderungan-kecenderungan global lainnya harus dianalisis dari sudut pandang Muslim dan, bila mungkin, dengan menggunakan metodologi-metodologi Muslim klasik dan modern seperti melalui Fikih Lingkungan dan atau etika lingkungan Islam dengan modifikasi-modifikasi interdisipliner.
            Pengembangan Fikih Lingkungan secara interdisipliner mengharuskan dilakukan ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif yang nantinya dapat menghasilkan sebuah ijma’ atau konsensus tentang konsep-konsep utama Fikih Lingkungan berkut panduan implementasinya. Pendekatan interdisipliner yang melibatkan berbagai ahli dari latar belakang disiplin memungkinkan sebuah hasil rumusan utama yang holistik dan komprehensif. Dari sudut argumen ini, pengembangan fikih lingkungan harus diletakkan dalam kerangka kebutuhan praktis tanpa kehilangan dimensi spirit Syari’ah. Bassam Tibi tepat sekali ketika menyatakan bahwa Syari’ah bisa menjadi sebuah “open texture, legal hermeneutics, dan topic thesis.” Sebagai “open texture” berarti Syari’ah merupakan suatu struktur norma tertulis yang sudah baku, tapi terbuka untuk iterpretasi. Hart, sebagaimana dikutip Tibi mengingatkan bahwa “ the resoure to the same handed-downlaw can have a different content in different times and different systems. Penjelasan ini dapat menguatkan bahwa pemberian bobot substansi untuk Fikih Lingkungan dapat dilakukan dengna jalan dinamis dan tersu-menerus melalui serangkaian pembaruan interpretasi dan ijtihad jama’i. Bassam Tibi, misalnya, menyimpulkan “ the theory of law as an open texture in Hart’s sense, the topics theory of Viehweg, and juristic hermeneutics could all be of great assistence in offerts to modernize Islamic law. Pemakaian suatu metode yang tepat dan multidisipliner, memang, bisa mengefektifkan kerja-kerja reformlasi fikih, termasuk Fikih Lingkungan.
            Selain pembaruan dan perubahan di level konstruk pemikiran atau gagasan, keterlibatan sejumlah lembaga pendidikan, pemerintah, dan NGO (non-goverment-organization) juga merupakan sebuah keniscayaan dimana keterlibatan mereka akan memperkuat basis-basis tindakan dan implementasi. Penggunaan berbagai disiplin dilakukan karena Fikih Lingkungan bukanlah disiplin yang lahir dari ruang kosong, tetapi lahir dari interaksi intensif antara mantra sosial, matra ekonomi, politik, budaya, dan lingkungan. Matra-matra tersebut merupakan kenyataan yang mengelilingi umat Islam dengan segenap nilai yang diajarkan Islam. Peminjaman metodologi tersebut, tentu saja, harus selektif sehingga terhindar dari bias berlebihan.
Harus diakui bahwa pembicaraan tentang Islam dan cabang-cabangnya terutama yang terkait dengan Fikih Lingkungan dan teori-teori pembangunan banyak meminjam metodologi barat dan teori-teori sosial modern. Penggunaan ini sah-sah saja sejauh metodologi dan teori-teori ini hanya dipakai sebagai sarana memperoleh kesimpulan-kesimpulanyang benar bagi kemaslahtan tanpa menjadi ideologi atau teolog teori-teori tersebut. Dalam konteks pengembnangan Fikih Lingkungan, Metodologi dan teori-teori sosial modern hanya menjadi salah satu alat yang dipilih secara kritis.
            Penjelasan-penjelsana di atas menjadi bahan pengembangan Fikih Lingkungna yang kehadirannya sebagai disiplin baru mencerminkan semangant jaman (zeit geist) dalam peta krisis lingkungna global. Apalagi, sebagimana telah dijelaskan di bagian terdahulu, memelihara lingkungan adalah sama dengan memelihara agama, jiwa, akal, katurunan, dan properti yang disebut sebagai al-dharurat al-khamsah oleh Yusf Qaradhawi dan Musthafa Abu-Sway. Bahkan Musthafa Abu-Sway menyebutkan bahwa memeilihara lingkungan adalah tujuan tertinggi Syari’ah. Sebagai tujuan tetinggi Syari’ah, maka implementasi konservasi lingkungan menjadi keharusan total yang pedoman-pedoman operasionalnya dirumuskan dalam apa yang disebut sebagai Fikih Lingkungan dengan seluruh variannya. Itulah sebabnya, pengembangan Fikih Lingkungan menjadi sangat Urgen, sedikitnya karena empat alasan utama,yakni
Pertama, kondisi obyektif  krisis lingkugnan yang semakin parah baik di negara-negara Islam maupun tingkat di tinkat global memerlukan partisipasi dari ajaran agama Islam sebagai agama rahmatan lil-alamin. Selain partisipasi itu melalui etika lingkungan islam juga yang tetpenting adalah melaui fikih lingkungan. Fikih Lingkungan yang sudah dirintis oleh para lama dan intelektual Muslim perlu dikembangkan ke konsep-konsep yang lebih operasional dan melalui pelembagaan formal (memasukkan unsur-unsur etika Islam ke dalam aturan-aturan formal negara). Perpaduan antara nilai ajaran Islam dengan kearifan-kearifan formal sosio-budaya dan hukum akan menimbukan suatu kekuatan. Dalam konteks umat Islam, hal ini akan memperkuat aspek jiwa dari sebuah hukum formal. Ruh suatu aturan hukum aau lebih luasnya fikih akan menentukan aspek implementasinya.
Kedua, umat Islam memerlukan sebuah kerangka pedoman komperhensif tentang pandangan dan cara melakukan partisipasi di dalam masalah konservasi lingkunangan fikih-fikih yang ada dan ditulis oleh para ulama klasik bahkan ulama modern tidak memadai lagi dan belum mengkomodir dalam bentuk operasional paduan tentang konservasi lingkungan dalam perspektif dan wawasan krisis lingkungan modern. Agknya, karya-karya Fikih Lingkungan yang ada masih berjuang untuk menemukan dasar ontologis dan epistemologis dan belum beranjak kearah pengembangan. Pengmbangan fikih lingkungan belum mendapatkan moment of truth di kalangan umat islam dan masih dianggap sebagai disiplin  baru yang belum terasa penting.  Berbeda dengan isu-isu kesetaraan gender yagn telah menghasilkan banyak karya (setingkat Tesis dan Disertasi), karya-karya dibidang Fikih Lingkungan masi bisa dihitung dengan jari. Fakta ini lebih memprihatinkan ketika lembaga pendidikan Islam, terutama Perguruan Tinggi Islam, belum memasukkan Fikih Lingkungan dalam kurikulum. Karena itu, belum ada pakar-pakar yang memiliki perhatian khusus dan serius di bidang ilmu Fikih Lingkungan. Jika tidak ada perhatian dari otoritas pendidikan Islam saat ini, maka akan menyebabkan kekosongan para ahli di bidang ini di masa depan di samping menyebabkan kekosongan para ahli di bidang ini di masa depan di samping menyebabkan makin lemahnya pilar konservasi lingkungan dari sisi ajaran Islam padahal krisis-krisis lingkungan telah dirasakan oleh dunia Islam. Peran pendidikan Islam dalam konteks ini adalah untuk memaksimalkan studi-studi lingkungan (yakni, Fikih Lingkunan) dalam merencanakan proyeksi katastropik dan tindakan-tindakan praktis konservasi lingkungan dengan basis etika Islam.
Ketiga, Fikih Lingkungan belum dianggap sebagai disiplin yang masuk ke ranah studi Islam. Akar-akar ontolohis dan epistemologisnya masih diperebatkan sehingga masih dianggap sebagai bagian dari ilmu lingkungan dan atau studi-studi pembangunan. Dengan tambahan kata lingkungan di belakang kata fikih membuat gabungan kata fikih lingkungan memerlukan keahlian lain sehingga rumusan atas konsep-konsep utamanya bersifat komprehensif, aplikabel, dan operasional. Memang di dalam Fikih Mu’amalah, banyak dibahas tema-tema lingkungan seperti harah, ihya al-mawat, hukum berburu, hima’ dan lain-lainnya. Namun, pembahasan itu masih bersifat generik danhanya bersifat etis. Diperlukan penjelasan-penjelasa yang lebih operasional, kontekstual dan berbobot ekologis. Usaha-usaha semacam ini masih dilakukan secara tidak terlembaga dan sitematik tapi hanya melalui kegiatan aksindedal dalam pembicaraan-pembicaraan di kalangan kaum elit. Itulah sebabnya, Fikih Lingkungan hingga sekarang sekarang masih menjadi wacana elit dan belum menyentuk ke akar rumput umat Islam.
Keempat, Fikih Ligkungan sebagai induk konservasi lingkungan berbasis ajaran Islam perlu dimasukkan ke dalam program-program penidikan, misalnya dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sejak dari tingkat Sekolah Dasar hingg Perguruan Tinggi. Hal ini penting karena gerakan kesadaran tentang konservasi lingkungan sangat efektif melalui strategi pendidikan dan kebudayaan. Kesadaran dan pengetahuan tentang lingkungan dengan segenap seluk-beluknya perlu ditanamkan kepada umat yang menyetubuh di dalam ajaran serta nilai Islam melalui pendidikan. Dengan demikian, pengembangan Fikih Lingkungan memperoleh dukungan kelembagaan Islam di smaping dukungan-dukungan publik, atau para ecothinker.
Urgensi pengembangan Fikih Lingkungan dalam khazanah Islam modern memang masih kalah dengan usaha pengembangan disiplin Ekonomi Islam. Disiplin ini, meski secara entologis dan epistemologis masih diperdebatkan dan berada dalam bayang-bayang sistem ekonmi konvensional , namun ia telah beranjak lebih jauh dan masuk ke lembaga-lembaga pendidikan Islam. Dari sisi kelembagaan, sistem ekonomi Islam telah memperoleh kepercayaan publikbaik Muslim maupun non-Muslim melalui bank-bank Syari’ah. Gejala ini, tentu saja, merupakan kemajuan berarti bagi pengambangan cabang-cabang Fikih Islam yang perumusan konstruksinya melibatkan berbagai pakar yang berbeda diiplin dan kerjasama denga lembaga-lembaga non Muslim. Pengalaman pengembangan Sistem Ekonomi Islam yang bermola dar gagasna-gagasan atau konstruk-konstruk abstrak kemudian mengejawantah ke dalam lembaga-lembaga modern merupakan sebuah prestasi kaum intelektual Islam di dalam mengakomodir perubahan-perubahan sosial modern ke dalam konstruk Syari’ah. Pengalaman ini bisa memperkuat pengembangan Fikih Lingkungan ke arha yang lebih pasti dan berkesinambungan.
Pada dasrnya, sistem Ekonomi Islam adalah kriti terhadap sistem ekonomi konvensional, yakni ekonomi sosialisme maupn kapitalisme,yang menempatkan manusia sebagai homo economicus. Filsafat ekonomi kapitalismeadalah filsafat eksploitasi yang sepanjang sejarahnya telah menyebabkan kerusakan lingkungan. Namun, kritik terhadap kerusakan kapitalisme oleh kajian Ekonomi Islam yang menyebabkan krisis lingkungan kurang ditekankan. Penekannya justru lebih pada kritik doktrin kapitalisme yang menampilakan ketidak adilan dan penciptaan kesenjangan sosial. Kendati emikian, berkembangnya studi-studi Ekonomi Islam menjadi pintu masuk bagi pengembangan Fikih Lingkungan yang, pada dasarnya, mengkritik bentuk-bentuk eksploitasi dan perusakan terhadap sumber daya-sumber daya lingkungan yang makin menipis.
C.        Fikih Lingkungan : Kemanfaatan Teoritis dan Praktis
Setelah pengmbangan Fikih Lingkungan memperoleh argumen-argumennya sebagaimana diulas di atas, Fikih lingkunga harus dikembangkan kearah pemenuhan tujuan-tujuan. Tujuan ini bukan saja bersifat teoritis, yakni berupa gagasan-gagasan atau konstruk-konstrk utama, tetapi juga bersifat praktis yang menghasilkan sejumlah panduan aplikatif yang secara operasional berguna bagi tindakan-tindakan konservasi lingkungan.
Konservasi lingkungan adalah sebuah konsep yang sangat penting di jaman modern yang telah terancam oleh kepunahan. Karena itu, gagasan-gagasan konservasi alami kini bukan lagi untuk ditunggu kesempurnaannya (menunggu konsep tu sempurna baru dilakukan), tetapi harus segera dilakukan dan diimplementasikan secara menyeluruh. Meminjam ugnkapan Emil Salim sebagaimana dikutip Burce Mitchell mengatakan  “ As a developing country, ndonesia faces the necessity of having to start sailing while still building the ship. We don’t have the time to wait until all concepts are well astablished, until the theories ore comleceted, The problems cannot wait until we can think the problem through.” Jadi, bukan menunggu semua konsep dan teori sempurna baru dilaksanakan karena krisis-krisis lingkungan telah yata dan menyebabkan bencana-bencana. Seluruh manusia di bumi bukan hanya negara berkembang [Indonesia] sebagaimana disebut Emil Salim sedang menghadapi krisis lingkungan dan tak ada lagi waktu untuk menunggu.
Adapun tujuan pengembanga Fikih Lingkungan adalah untuk : Pertama, mendorong lahirnya kesaaran para intelektual Muslim dan umat Islam dalam masalah krisis lingkungan. Fikih Lingkungan menjadi media promosi yang bukan saja menyajikan argumen-argumen tentang keharusan-keharusan umat tentang pentingnya konservasi lingkungan berbasis fikih, tetapi juga memberi wawasan tentang krisis-krisis lingkungan yang memerlukan keterlibatan semua komponen kearifan uamat beragama, khusunya agama Islam.
Kedua, mendorong perubahan paradigma baru Fikih dengan mengkomodir bhahan-bahan baru dari kondisi-kondisi sosial-budaya dan lingkungan hidup. Paradigam baru itu bisa berupa eksplorasi khazanah Syari’ah dalam titik-titik ekologi dan spirit environmentalisme global. Tujuan ini memiliki destinasi konkrit, yakni meletakkan kerangka Fikih Ljngkungan ke dalam gerakan global konservasi lingkungan baik tergabung dalam organisasi-organisasi di bawah United Nations atau PBB mauoun tergabung dalam NGO-NGO di bidang lingkungan. Hal ini dilakukan agar relevansi konsep-konsep utama Fikih Lingkungan berada dalam tarikan nafas yang sama dengan tujuan konseervasi lingkungan global tanpa pertentangan-pertentangan berarti baik secara teologis maupun secara politik. Juga tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsio Syari’ah sebagai esensi Islam.
Ketiga, memberikan sumbangan pemikiran dari sisi kearifan ajaran Islam guna menyusun action plan pemeliharaan .lingkungan, baik untukkepentingan intra-bangsa-bangsa Muslim maupun untuk kepentingan antar bangsa-bangsa di dunia lainnya. Dengan kekayaan kearifan lingkungan yang dimiliki Islam dan dijabaroperasionalkan melalui kerangka pemikiran Fikih Lingkungan, maka akan memudahkan program-program action plan konservasi lingkungan.
Keempat, meningkatkan peran Islam di tingkat internasional dalam memelihara lingkungan. Globalisasi yang telah menyatukan bangsa-bangsa ke dalam satu keperihatinan global, terutama dalam menghadapi krisis-krisls lingkungan, mengharuskan Dunia Islam ikut ambil bagian di dalamnya. Partisipasi dalam gerakan lingkungan global memerlukan sebuah paradigma, konsep-konsep, dan kemauan politik Dunia Islam sehingga tidak mengalami hambatan-hambatan teologis, ideologis, dan psikologis. Dengan menyiapkan perangkat- perangkat gagasan, seperti dengan perspektif Fikih lingkungan, Dunia Islam lebih mampu untuk memainkan peran penting dalam gerakan environmentalisme global.
Kelima, memperbesar kapasitas Fikih Lingkungan di dalam upaya mengerem, meminjam istilah Seyyed Hossein Nasr sekularisasi kosmos yang memisahkan relasi manusia dengan lingkungannya. Desakralisasi dan sekularisasi kosmos sepanjang berabad-abad membuat manusia mengembangkan watak penaklukan atas alam sehingga menimbulkan krisis- krisis lingkungan sangat serius. Kapitalisme sebagai 'ideologi' ekonomi manusia modern telah berimplikasi pada sekularisasi pandangan manusia atas alam sehingga alam direndahkan.51 Dalam konteks fenomena semacam ini, kearifan-kearifan tradisi Fikih Lingkungan dengan seluruh variannya dapat
menyumbangkan konsep pemeliharaan lingkungan global.
Kelima tujuan pengembangan itu dapat memberikan orientasi format dan arah Fikih Lingkungan di masa depan terkait dengan partisipasi Islam di dalam mengatasi krisis lingkungan di tingkat lokal, regional, maupun internasional. Dalam kerangka argumen ini, Ziauddin Sardar benar ketika mengatakan bahwa umat Islam menghadapi dua tugas yang sama-sama besar dan berat, yakni: menggerakkan peradaban Islam yang hidup dan memberikan sumbangan positif untuk menanggulangi problem- problem lingkungan dan atau krisis bumi. Argumen Sardar, setidak-tidaknya dapat mendorong Dunia Islam melakukan tindakantindakan yang perlu terkait dengan konservasi lingkungan berikut langkah-langkah anstisipasinya. Apalagi menurutnya, peradaban Muslim adalah satu-satunya peradaban yang masih melestarikan sifat hakikinya, yang dapat dijadikan tameng untuk menghadapi peradaban Baratyang dominan, dan yang dapat memberikan struktur nilai yang banyak dibutuhkan untuk menuntun manusia menuju keselamatan.
Struktur nilai yang dapat mengarahkan peradaban Muslim, khususnya terkait dengan kelestarian lingkungan bagi negara-negara Muslim, adalah nilai tawhid yang mengintegrasikan relasi sakral antara Tuhan, manusia, dan alam atau kosmos. Relasi sakral ini disebut, meminjam Sachiko Murata, sebagai 'keakraban yang berani' antara Tuhan, manusia, dan alam. Dalam relasi ini, konsep-konsepnya kemudian dijelaskan lagi dalam konsep-konsep yang lebih operasional, yakni misalnya dirumuskan dalam konsep Fikih Ungkungan dan atau Etika Lingkungan Islam.
Dengan demikian,tujuanpengembanganFikihlingkungan ini dilakukan untuk menemukan spirit Fikih yang ekologis dan membangun gerakan ekologi global yang mengandung bobot-bobot spiritual. Fikih Lingkungan yang dikembangkan bukan lagi semata-mata bersifat eksklusifda lam arti untuk dirinya sendiri, untuk memenuhi kepuasan spiritual individual semata, dan terisolasi dari dunia luar tetapi juga diletakkan dalam kerangka sipirit masyarakat terbuka ( open society)  yang dicirikan oleh kebutuhan saling mengisi (take and give) dan saling bekerjasama. Selanjutnya, Fikih Lingkungan juga bukan dibangun hanya dalam tataran ide yang mengandung tingkat abtraksi yang terlalu ideal dan utopis, tetapi juga berorientasi pada kebutuhan-kebutuhan praksis modernitas, seperti fungsi konservasi lingkungan. Dengan menurunkan tingkat abtraksi ideal-ideal Syari'ah ke dalam kategori-kategori praksis, visi dan konsep Fikih Lingkungan memperoleh dimensi fungsionalnya. Ke arah inilah tujuan-tujuan pengembangan Fikih Lingkungan dilakukan.
D.        Sebuah Apresiasi
Kajian Saudara Mudhofir Abdullah dalam buku ini hanyalah sepercik gagasan yang memerlukan pendalaman, pengembangan, dan penelitian lebih lanjut. Saya mengapresiasi karya ini dan berharap penulisnya terus menulis tema ini dalam jurnal-jurnal nasional maupun internasional. Pengayaan tafsir- tafsir klasik perlu dilakukan agar karya ini memiliki analisis seimbang dan tidak terkesan hanya memilih karya-karya Barat dan atau karya-karya intelektual Muslim modernis. Hal ini demikian karena bobot sebuah karya apalagi karya kajian Islam terletak pada sumber-sumberyang luas dari para ulama klasik sehingga tidak ahistoris.
Namun demikian, karya ini merupakan awal yang baik bagi sumbangsih Islam atas krisis-krisis lingkungan. Islam harus fungsional dalam kehidupan modern yang terancam oleh kepunahan akibat bencana-bencana alam yang kian meningkat.
Sebab hanya dengan cara ini, Islam benar-benar hadir dan dirasakan oleh umat manusia. Krisis lingkungan yang telah memasuki tahap sangat akut menuntut sebuah pemikiran, tindakan, dan perubahanyangspesifikdari umat manusia. Islam yang merupakan agama besar dunia harus ikut memberikan respon, aksi, dan antisipasi atas krisis lingkungan global. Dan, menurut saya, kajian-kajian tentang Islam dan konservasi lingkungan merupakan bagian dari upaya dimaksud, termasuk karya ini. Wallah A'lam Jakarta, 20 Oktober 2009


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agenda konservasi lingkungan terus mendapatkan perhatian yang semakin luas. Kesadaran tentang perlunya tindakan global untuk menyelamatkan lingkungan dari kerusakan telah menjadi agenda bersama semua bangsa.Krisis-krisis lingkungan telah menyatukan bangsa-bangsa untuk menghadapinya dengan sejumlah  kebijakan bersama. Meminjam ungkapan John Mc Cormick bahwa " masalah konservasi adalah suatu probem yang lebih luas daripada batas-batas suatu negara.
            Menurut Philip Shabecoff, akar-akar gerakan environmentalism modern sudah ada dan berakar sejak abad ke-19,namun pelibatan agama dalam penanganan konservasi lingkungan datang lebih belakang. Keterlibatan agama terjadi ketika kerja sama global dalam konservasi lingkungan diselenggarakan dalam tingkat konferensi Internasional pada 1972 di Stockolm dan dilanjutkan pada pertemuan puncak, Earth Summit, di Rio de Janeiro Juni 1992. Agama-agama besar dunia sejak itu kemudian dianggap sebagai pilar penting untuk membantu menopang kesadaran konservasi lingkungan melalui eksplorasi ajaran-ajarnnya. Ajaran-ajaran agama dan spiritual dianggap mampu memperkuat kesadaran umat manusia untuk mengimplementasikan tugas-tugas kinservasi lingkungna yang mengalami degradasi akibat agreai manusia modern secara terus-menerus melalui watak penaklukannya. Kerusakan lingkungan sebagai besar disebabkan oleh word-view atau cara pandang yang terlalu antroposentrik dan humainistik. Pandangan bahwa alam harus dikuasai untuk kepentingan ekonomi dan pembangunan. Cara pandang semacam ini menempatkan kedudukan manusia terpisah dari ekosistem lingkungan. Akibatnya, sains dan teknologi selama beabas-abad kering dari spiritualitas dan sepenuhnya mengabdi pada kepentingan manusia yang mengabdikan masalah-masalah lingkungan.
            Karena itu, kondisi lingkungan global yang kian memburuk dan kritis, tidak cukup hanya diatasai dengan seperangkat peraturan hukum dan undang-undang sekuler, tetapi juga kesadaran otentik dan relung-relung batin dan spiritual setiap individu yang wujudnya adalah nilai-nilai moral dan agama. Munculnya pemikiran etolelogi dan eksofi mencemirkan pergeseran baru yang lebih serius terhadap masalah-masalah krisis lingkungan. Teologi dan filsafat yang semula hanya berkutat bicara soal Tuhan, kini telah membumi mengurus problem-problem krisis lingkungan. Demikian pula dalam tradisi fikih kontemporer, meski bersifat rintisan, kini telah beranjak ke arah yang lebih faktual, universal, dan terlibat dalam gemuruh problemproblem global seperti krisis lingkungan dan kinservasi lingkungan. Argumen-argumen tentang urgensi konservasi lingkungan dari perspektif khnzah kearifan agama-agama dan tradisi-tradisi besar umat manusia, termasuk Syari'ah, telah mengalami trend menaik sejak lima dasawarsa terakhir. Karena itu, argumen konservasi lingkungan telah memperoleh dukungan nilai moral dan spiritual dari ajaran agama sehingga dapat mebantu percepatan atasi krisis lingkungan di bumi.
            Nilai-nilai ini dipercaya memiliki kemampuan tinggi dalam mempengaruhi word-view pemeluknya dan menggerakkan dengan umat kuat perilaku-perilaku mereka dalam kehidupan. Tumpulnya hukum dan konvensi-konvensi sekuler dalam melindungi lingkungan alam mengharuskan keterlibatan potensi-potensi spiritual dalam memecahkan problem-problem tersebut. Karena itu, dalam konteks umat beragama, kepedulian terhadap lingkungan amat tergantung pada bagaimana aspek-aspek ajaran agama mengenai lingkungan disajikan dan dieksplorasi oleh para tokohnya dengan bahasa serta idiom-idiom modern ekologis.
            Di era modern ketika kehidupan manusia dan masalah-masalahnya begitu kompleks, peran agama sangat dibutuhkan untuk memberi topangan nilai. Agama tidak lagi hanya berkutat pada masalah-masalah spiritual dan eskatologis belaka, tetapi juga harus beranjak ke aspek-aspek rill masyarkat pemeluknya. Caranya adalah dengan menanamkan nilai-nilai moral sehingga manusia memiliki kemampuan tinggi untuk mengatasi masalah-masalahnya dengan tanpa merusak harmoni dengan lingkungannya. Dengan nilai-nilai moral agama, manusia memiliki cope-ability (kecakapan mengatasi) dan ketajaman membaca tanda-tanda zaman berikut kemampuan menciptakan seperangkat nilai untuk melestarikannya seperti hukum dan sejumlah peraturan.
            Demikianlah, ruang lingkup pemahaman Syari'ah-baik yang mewujud dalam bentuk disiplin fikih, teologi (kalam), tasawuf, dan etika(akhlaq)-kini telah berkembang pesat dengan sejumlah argumen-argumen yang lebih akomodatif terhadap perkembangan sosial dan budaya, termasuk masalah-masalah konservasi lingkungan. Dimensi pemahaman Syari'ah jua telah memasukkan komponen-komponen masalah kemodernan dalam kerangka kerja sama global. Dimensi pemahaman Syari'ah kontemporer tidak berdiri dalam suatu ruang yang terisolir dan ekslusif dari kebutuhan masyarakat tetapi menyatu dalam spirit global, seperti dalam sumbangannya pada masalah-masalah peanganan krisis lingkungan. Memisihkan pemahaman dan implimentasi Syari'ah dari kepentingan-kepentingna kerja sama global, maka akan mereduksi pesan moral Syari'ah ke dalam ideologi atau teologi eksklusif dan, karena itu, kehilangan relenvasnsinya dengan semangat dunia untuk menangani ancaman kepunahan kehidupan di bumi karena krisi lingkungan yang makin memburuk.
            Itulah sebabnya, argumen konservasi lingkungan dalam perspektif Syari'ah harus dieksplorasi ke arah yang lebih universal dan global sehingga dapat memperkuat usaha-usaha menanggulangi krisis-krisis lingkungan dalam perspektif perkembangan, pemahaman Syari'ah bukanlah suatu entitas yang statis, tetap selalu mengalami perkembangan. Konsep pemahaman Syari'ah ( dalam bentuk fikih, teologi, tasawuf, dan etika) sebagaimana "Rule of law" tidak muncul tiba-tiba tetapi merupakan hasil dari suatu perkembangan tersendiri. Sampai saat ini telah dikenal fikih, teologi, etika, hukum dan konvensi-konvensi baru untuk mengatur dan melindungi manusia beserta lingkungannya. Ekspansi jangkauan pemahaman Syari'ah, telah beranjak ke aspek-aspek HAM, perlindungan buruh, perlindungan wanita, Fikih Lingkungan, dan lain sebagainya. Ini menandai bahwa pemahaman Syari'ah telah merespons ke aspek-aspek yang lebih luas dan mengikuti struktur masyarkat yang terus berkembang.
            Dalam konteks pemahaman Syari'ah, isu-isu di atas sesungguhnya bukanlah hal baru, Di dalam al-Qur'an maupun Hadits (syari'ah) banayak disinggung isu-isu  tentang HAM, perlindungan wanita, pelestarian lingkungan, dan tanggung jawab manusia terhadap manusia, alam, dan Allah. Hanya saja, untuk isu-isu lingkungan hanya disinggung dalam konteks generik dan belum spisifik sebagai suatu ketentuan hukum yang memiliki kekuatan menggetarkan. Fikih-fikih klasik telah menyebut isu-isu tersebut dalam bab-bab yang terpisah dan tidak menjadikannya buku khusus. Ini bisa dimengerti karena konteks perkembangan struktur masyarakat waktu itu belum memerlukan ketentuan-ketentuan semacam itu sehingga, mengikuti teori Evolusi Syari'ahnya Mahmoud Muhammad Taha, implementasinya tetunda sampai situasi dan momentumnya tepat dan relevan.
            Para intelektual Islam telah memperluas ruang lingkup kajiannya pada isu-isu modern tersebut dalam karya-karya mereka. Ini menandakan bahwa ada sense of future dari para ulama untuk memperbesar kapasitaas peran Syari'ah dan pemahamannya dalam kehidupan modern, termasuk masuknya argumen-argumen baru tenang urgensi konservasi lingkungan. Pemahaman Syari'ah disadari harus mampu bebicar dipanggung dunia dalam isu-isu kemanusiaan dan lingkungan, sehingga perannya tidak lagi terbatas dan eksklusif. Kesadaran untuk melakukan transformasi  pemahaman Syari'ah tidak lahir dari luar, tetapi tumbuh secar organik dari dalam berupa pesan-pesan universal Syari'ah yang selam ini masih tetunda implementasinya dan belum dieksplorasi secara optimal. Karena itu,kebutuhan untuk memperluas kapasitas pemahaman Syari'ah dalam masalah-masalah modern bukanlah suatu hal yang asing dan aneh. Maksimalisasi peran Syari'ah bisa dilakukan tanpa hambatan teologis. Bahkan hal itu merupakan bagian integral dari sejarah perkembangan pemahaman Syari'ah yang menyertai peradaban Muslim. Membangun argumen-argumen konsevasi lingkungan dalam perspektif Syariah merupakan salah satu diantara yang masih tertinggal dan belum menjadi arus utama (mainstream) pemikiran umat Islam.
            Munculnya karya-karya fikih kontemporer yan glebih tematik seperti Fiqh al-Mar'ah , Fiqh al-Bi'ah, Fiqih al-Zakat- untuk menyebut beberapa diantaranay-merupakan bukti adanya pergeseran besar pilihan-pilihan tema para ulama dengan argumen-argumen baru yang lebih relevan dan mengakomodasi ingredients kontemporer. Di samping itu, beberapa karya yang menyitarakan dorongan untuk reformasi pemahaman Islam juga dapat dibaca dalam karya-karya Mhammad Abduh,Abid Jabiri, Fazlur Rahman, Mahmoud Muhammmad Thaha, Abdullah Ahmed an-Nai''im, Muhammad Sahrour, dan lain-lainnya. Dorongan pembaruan pemahaman Islam, termasuk dibidang fikih, teologi, dan etika Islam ini dilakukan untuk melanjutkan proyek-proyek peradaban Islam agar selalu kompatibel dengan perubahan zaman.
            Karena itu, upaya membangun argumen-argumen konservasi lingkungan dari titik Syari'ah dan merumusnkannya ke dalam kerangka-kerangka yang lebih sistematik merupakan sebuah keniscayaan. pengembangan argumen konservasi lingkungna dari perspektif Syari'ah kini bisa menjadi suatu pilihan urgen di tengah kriss-krisis ekologis secara sistematis oleh keserakahan manusia kecerobohan penggunaan teknlogi islam sebagai agama yang secara organik memperhatikan manusia dan lingkungannya memilki potensi amat besar untuk memproteksi bumi.
            Dalam al-Qur'an sendiri kata-kata "bumi" ('ardh) disebut sebanyak 485 kali dengan arti dan konteks yang beragam, bahkan kata Syari'ah yang seiring dipadankan dengan Hukum Islam memiliki arti "sumber air" disamping bermakna "jalan".Dalam konteks konservasi lingkungan makna Syari'ah bisa berarti sumber kehidupan yang mencakup nilai-nilai etika dan hukum.
            Komponen-komponen lain di bumi dan lingkungan juga banyak disebutkan dalam al-Qur'an an Hadits . Sebagai contoh, manusia sebagai pusat lingkungan yang disebut sebagai kholifah terdapat dalam QS., 21:30; segala yang di langit dan di bumi ditundukkan oleh Allah kepada manusia QS.,45:13; tentang ait disebut dalam QS.,20:30, 16:65, 30:24, 50:9, dan lain-lainnya. Manusia, bumi, dan makhluk ciptaan lainnya di alam semesta adalah sebuah ekosistem yang kesinambungannyaamat bergantung pada moralitas manusia sebagai khalifah di bumi.
            Meski ayat-ayat tersebut lebih bersifat antroposentris (manusia sebagai penguasa alam), namun ada pemerintah untuk mengelolahnya dengan segenap tanggung jawab dan kesadaran etis bahwa manusia adalah sebagian dari realias antropokosmik. Konsep kilafah sebagaimana disebut dalam QS 20:30 bermakna responsibility. Makna sebagai  wakil Tuhan dimuka bumi hanya kan bermakna jika manusia mampu melestarikan bumi sehingga seluruh peribadatan dan amal-amal sosialnya dapat dengan tenang ditunaikan . ini masuk akal karena suatu ibadah atau pengabdian kepada Allah dan manusia tidak dapat dilakukan jika lingkungan buruk dan atau rusak.
            Dalam kerangka pemikiran di atas, maka melindungi dan merawat lingkungan merupakan suatu kewajiban setiap Muslim dan bahkan menjadi tujuan pertama Syari'ah. Tujuan Syari'ah (al-Maqashid al-Syar'iyyah) yang disepakati sejak dulu hingga sekarang ada lima, yaitu : menjaga agama, menjaga kehidupan, keturunan, hak milik, dan akal. Musthafa abu-Sway mengomentari lima prinsip di atas dengan menyatakan bahwa menjaga lingkungan merupakan tujuan tertinggi . Ia beragument "For if te situation of the environment keeps deteriorating, there will ultimately be no life, no property and no religion. The environment encompases the other aims of the Syari'ah " (karena jika keadaan lingkungan kian memburuk, maka pada akhirnya kehidupan tidak ada lagi, demikian juga hak milik dan agama. Lingkungan mencaplok tujuan-tujuan Syari'ah yang lainnya).
            Gagasan Mustafa Abu-Sway di atas dapat dianggap sebagai suatu terobosan ijtihad tentang pelestarian lingkungna berdasarkan Maqashid al-Syari'ah. Muatan-muatan fikih klasik membahas tema-tema lingkungan secara terpisah dan abstrak perlu diberi bobot-bobot ekologis. Seperti dapat dibaca, dalam fikih-fikih klasik ada bab-bab seperti al-Tharah (bersuci), al-Shayd (berburu), Ihya' al-Mawat (memanfaatkan tanah mati), al-Ath'imah (hukum tentang makanan), al-Asyribah (hukum tentang minuman), dan lain-lainnya. Tema-tema ini merupakan bagian dari kajian lingkungan. Tema-tema ini bisa diperluas dengan tema-tema yang lain yang terkait dan selanjutnya dinaikkan menjadi suatu Fiqh al- Bi'ah atau Fikih Lingkungan sebagai cara Islam melakukan konservasi lingkungna. Memang tema-tema itu dalam fikih klasik kurang mendapat perhatian dan tidak dibahas secara mendalam . Ini disebabkan karena ilmu tentang lingkungan baru berkembang sejak manusia menyadari bahwa lingkungna sedang mengalami kemerosotan oleh eksploitasi tanpa batas. Kesadaran tentang masalah lingkungan justru tumbuh dalam tradisi sufi dan ini hanya sebagai sikap etis kaum sufi di dalam memandang relasi Tuhan, alam, dan manusia. Namun demikian harus diakui bahwa pemahaman Syari'ah tentang konservasi lingkungan belum menghasilkan konsep-konsep utama yang secara operasional dapat melindungi lingkungan sebagaimanan terjadi pada hukum lingkungan, undang-undang dan konvensi-konvensi "sekuler".
            Hukum lingkungan dalam perspektif ekologi modern, sebagai contoh, baru berkembang sejak deklarasi stockholm 1972. Dengan demikian, hukum lingkungan lahir bersama lahirnya masalah-masalah lingkungan yang dihadapi manusia modern. Ini berarti membangun argumen konservsi lingkungan dari pijakan syari'ah, sebenarnya, tidak mengawali dari awal karena topik-topik sudah buil-in dengan kelahiran Islam itu sendiri. Hanya saja, pemahaman Syari'ah tentang konservasi lingkungan belum dirumuskan secara sistematis dengan kajian-kajian yang lebih ilmiah. Untuk melakukan tugasi ini, para ulama harus mempelajari lintas disiplin, memilih topik-topik secara lebih spesifik, dan membangun argumen-argumen tentang tingkat urgensinya sehingga konservasi lingkungan memperoleh perhatian yagn besar dari umat Islam serta menjadi semacam ekoteologi dan ekoetika dalam kehidupan mereka.
            Sebagai perbandingan,perkembangan hukum Lingkungan itu sendiri kini telah berkembang dengan pesat. Koesnadi Harjasoemantri dengan mengamati perkembangan hukum lingkungan di Indonesia menyebutkan beberapa variannya, antara lain :
1.      Hukum tata lingkungan,
2.      Hukum perlingdungan lingkungan,
3.      hukum kesehatan lingkungan,
4.      hukum pencemaran lingkungan,
5.      hukum lingkungan trransnasional,
6.      hukum sengketa lingkungan, dan sebagainya.
            Struktur hukum lingkungan tersebut bisa menjadi komplementer bagi perumusan argumen-argumen konservasi lingkungan dari titik-titik Syari'ah dan memperkayanya dengan aspek-aspek lingkungan lain. Dalam karya-karya hukum itu, argumrn-argumrn yang dibangun menampakkan kebaruan sebagai hasil dari respons sosio budaya yang ada. Inilah yang di dalam disiplin ushul al-fiqh disebut dengan istilah 'illat hukum (rasio legis).
            Keterlibatan sejumlah negara Islam dalam sejumlah program aksi global tentang konservasi lingkungan membuat Islam harus memainkan peran penting melalui kontribusi-kontribusi pemikirannya. Eko Syari'ah bisa menjadi pintuh masuk bagi usaha-usaha konservasi lingkungan. Bukan saja untuk memperbaiki kualitas pelindungan lingkungan di negara-negara Musilim itu sendiri, tetapi juga untuk menupang gerakan global dalam masalah pembangunan berkesinambungan. Dalam arti inilah, penggalian kembali pesan-pesan konservasi lingkungan dari perspektif Syari'ah bisa menjadi milestone bagi gerakan environmentalisme global.
            Karena itu, argumen eko-Syari'ah harus pula menghasilkan konsep-konssep utama tentang konservasi lingkungan sebagaimana pembangunan Syari'ah itu sendiri sepanjang sejarahnya telah menghasilkan  Fiqh al-Mar'ah, Fiqh al-Zakat, Fiqh al- Siyasah, Fiqh al-Ibadah, Fiqh al-Mawaris, dan lain-lainnya yang sudah populer di tengah-tengah umat. Sebagaimana para ualama telah membangun dasar-dasar argumen ontologi varian fikih diatas, konseravasi lingkungan pun memerlukan argumen-argumen Syari'ah sehingga memiliki basis-basis yang kuat dalam usaha implementsinya dalam umat Islam.
            Tentu  saja diperlukan sejumlah metode untuk merumuskan secara sistematis konsep-konsep konservasi lingkungan berbasis Syari’ah. Metode-metode jurisprudensi (ushul al-fiqh) konvensional seperti qiyas, ijma’, istihsan, mushalahah muralah, syad al-dzara’i, dan lainnya masih bisa digunakan. Namun demikian, metode-metode batru masih tetap diperlukan . Untuk ini masih bisa dipinjam , misalnya, pendekatan hermeneutik dan pendekatan lain yang lebih tepat dan mampu meenkontruksi-merekonstruksi kandungna al-Qur’am dan Hadis (Syari’ah) secara maksimal. Sesungguhnya, penggunaan meetode baru diperlukan untuk menerobos kebekuan dan bergerak ke dimensi-dimensi yang tidak biasa. Metode yang berbeda akan menghasilkan yang berbeda. Menyadari ini, maka kombinasi antara metode konvensional dan metode baru masih tetap dilakukan untuk mendapatkan hasil-hasil rumusan Syari’ah yang holistik tentang konservasi lingkungan.
Upaya pengayaan metodologi dalam kajian-kajian fiqih, khusunya, dan ilmu-ilmu sosial, pada umumnya, bertujuan untuk menemukan  dimensi-dimensi internal ayat sehingga fikih dalam Islamic Studies terus dinamis dan terhindar dari irrelvansi dengan kehiduoan modern. Karena itu, argumen-argumen yang dibangun harus mencerminkan kebaruan dan peremajaan berdasarkan atas problem-problem sosial zamannya. Dalam konteks penelitian ini , argumen-argumen eko-Syari’ah akan dibangun dari aspek ekologi(ecology), ekoteologi (echoteology), dan ekosofi (ecosh). Tiga argumen ini dimaksudkan untuk memperkuat basis epistemologis, ontologis, dan juga aksiologis sehingga argumen konseravasi lingkungan sebagai tujuan tertinggi  Syaria’h bisa menjadi grand-narrative atau meta-narrative yang bukan saja menjadi kearifan ekologi manusia modern, tetapi juga sebagai sumbangan islam untuk proyek global melindungi bumi. Selain itu, konservasi lingkungan berbasis Syari'ah dapat meng-coutr pandangan-pandangan Descartesien dan newtonian yang reduksionis terhadap alam.
            Stadi-stadi tentang konservasi lingkungan berbasis Syari'ah dalam bentuknya yang holistik dan ekologis mempublikasikan Silent Spring pada 19950-an disusul terbitnya  state of the word ole Wordwatch Institue, kesadaran krisis lingkungan telah menginternasional. Seyyed Hossen Nasr pada 1960-an juga ikut mempublikasikan karya-karya tentang kearifan lingkungan dalam titik-titik metafisika sains. Ziauddin Sardar, disisi lainnya, mengikuti jejak Nasr mengusung tema-tema Islam dan lingkungan serta mengkritik peradaban barat modern yang telah memberi persetujuan teologis,politis, dan ekonomis pada agresi tanpa batas terhadap lingkungan. Krisis-krisis lingkungan yang terus memburuk akhirnya disadari sebagai sesuatu yang nayata dan bukan sekedar opologi bagi tejadinya bencana-bencana.
            Bermula dari karya-karya ekoteologi dan ekosofi di atas, para ulama denga disiplin lain menulis karya fikih dengan memasukkan fenomena baru berupa krisis lingkungan, perubahan iklim, dan pemanasan global meski dalam bentuknya
yang tidak utuh dan masih merupakan karya rintisan . Karya-karya itu ternyata, menarik intelektual non-Muslim untuk melakukan studi-studi lebih jauh atas konsep-konsep etis dan hukum islam tentang konservasi lingkungan. Hasilnya adalah munculnya berbagai kompilasi karya-karya sarjana Muslim dan non-Muslim tentang konservasi lingkungan berbasis Syari'ah  yang diikuti pula studi-studi di sejumlah perguruan tinggi dan universitas.
            Berdasarkan penjelasan diatas, studi-studi terdahulu terkait dengna Islam dan konservasi lingkugan belumlah sebanyak studi-studi tentang "gender", "fikih siyasah', "fikih zakat",  "teologi islam", dan studi-studi Islam lainnya.Namun begitu, ada karya-karya rintisan "Fikih Lingkungan" dan variannya yang dapat menjadi tonggak bagi studi-studi konservasi lingkungan dalam perspektif Syari'ah di masa depan. Karya-karya itu antara lain : Ri'ayat al-Bi'ah fi Syari'at al-Islam karya Yusuf Qaradhawi, Towards an Islamic Jusrisprudence of the Environment : Fiqh al-Bi'ah fi al-Isam karya Musthafa Abu-Sway dan Islamic Environmental Ethics,Law,and Society karya Mawil Yuide.Izz Deen.
            Karya-karya yang mengkaji Islam dan lingkungan dari perspektif teologi dan meetafisika sains dapat ditemukan dalam karya-karya Seyyed Hosein Nasr, yaikni antara lain : The Encounter of Man and Nature, Religion an the Order of Nature, A Young Muslim's Guide to the Modern Word , science and Civilization in Islam, Islam and the Environmental Crisis, dan lain-lainnya. Dalam buku-bukunya itu, Nasr mengemukakan kritik atas krisis lingkungan oleh sains modern yang sekuler dan absen dari nilai-nilai spiritual,. Selanjutnya, Nasr mengajukan berbagai rekomendasi diantaranya ialaha melalui panggilan kembali nilai-nilai Isla, Kristen, Yahudi, dan tradisi agama-agma dunia untuk melindungi bumi. Meski karya-karya Nasr tidak meletakkannya dalam kerangka diskursus hukum Islam, namun nilai gagasan-gagasannya amat mendukung proyek kinservasi lingkungan berbasis kearifan ajaran agama, utamanya ajaran Islam.
            Karya-karya yang sejenis dengan Nasr juga dapat dilacak dalam karya-karya Ziauddin Sardar, Islamic Futures, dan The Touch of Midas, Science, Values, and Environment in Islam and the West, Seyyed Nomanul Haq, Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya), dan lain-lainnya. Titik-titik Metafisika sains yang kemudian dianggap oleh ecothinkers disebut sebagai ecotheology (ekoteologi) dan ecoshopy (ekosofi) ini memperkaya basis-basis kearifan lingkungan yang sangat diperlukan dalam Fikih Lingkungan.
            Karya-karya muslim terebut di atas memilliki paralelisme dengan karya-karya ekotologi an ekosofi Barat seperti L. KavehAfrasiabi berjudul Toward and Islamic Ecoheology, Karya Thomas Berry Dream of The Earth, karya J. Bair Calicott The World's Great Ecological Insight : A Critical Survey of Traditional Environmentasl Ethics from the Mediterranean Basin in the Australian Outback, karya William Chittick the Concept of Human Perfection, karya Fritjof Capra The Tao of Physic, dan lain-lain. Krya-karya trsebut memberi landasan teologii, tasawuf, dan filosofis tentang keharusan etis melindungi lingkungan dan meletakkan relasi manusia dengan lingkungan secara sakral.
            Selanjunya studistudi konservasi lingkungan dari titik-titik Islam yang silakukan oleh orang Indonesia antara lain: Merintis Fikih Lingkungan (Ali Yafie, 2006), Teologi Lingkungan Islam (Disertasi Mujiyono, 2001), Perspektif Hukum Islam Tentang Lingkungan Hidup (Abdul Qadir Gassing, 2002), dan lain-lainnya. studi-studi tersebut berusaha mengurangi keterkaitan antar ajaran Islam (Syari'ah) dengan usaha-usaha perlindungan lingkungan.
            "Towards an Islamic Jusrisprudence of the Environment : Fiqh al-Bi'ah fi al-Isam" karya Musthafa Abu-Sway yang disampaikan di Masjid Belfast pada Februari 1998. Musthafa menjelaskan bahwa Islam merupakan agama yang paling komprehensif dalam perhatiannya terhadap masalah-masalah manusia dan lingkungan. Dia juga menyajikan ayat-ayat al-Qur'an dan Hadist untuk menunjukkan bahwa Islam memiliki kepedulian yang besar pada soal lingkungan.
            Konsep Khalifah sebagaimna yang disebut dalam QS, 2:3 menurut Musthafa tidak akan berarti bila ia tidak mampu melakukan tugas-tugas mengelola lingkungan. Menurutnya, al-maqashid al-syar'iyyah yang terumus dalam lima prinsip, yakni menjaga agama,jiwa,akal,keturunan, dan hak milik tidak akan ada bila lingkungan rusak atau kian buruk. Dengan kata lain, ekstensi al-maqashid al-syar'iyyah bergantung pada kondisi-kondisi lingkungan hidup. Karena itu, menurut Musthafa selanjutnya, merawat lingkungan menduduki peringkat tertinggi dari al-maqashid al-syar'iyyah (tujuan syari'ah).
1.2 Rumusan Masalah
1.   Apa yang dimaksud dengan kesalehan lingkungan ?
2.   Bagaimana peran islam dalam penyelamatan lingkungan ?
3.   Bagaimana cara pemanfaatan sumber daya alam?
4.   Bagaimana pencemaran lingkungan ?
5.   Apa saja akar-akar krisis lingkungan ?
1.3 Tujuan
1.   Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kesalehan lingkungan
2.   Untuk mengetahui peran islam dalam penyelamatan lingkungan
3.   Untuk mengetahui cara pemanfaatan sumber daya alam
4.   Untuk mengetahui macam-macam pencemaran lingkungan
5.   Untuk mengetahui macam-macam akar-akar krisis lingkungan






BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kesalehan Lingkungan
            Kesalehan bagi sebagian besar masyarkat merupakan bentuk ketaatan terhadap hukum agama yang terjewentahkan dalam ritual keagamaan seperti shalat, puasa, naik haji. Pandangan perlu diperluas , sebab kesalehan tidak semata-mata sekedar menjalankan ibadah atau ritual keagamaan. Kesalehan yang hanya terbatas pada aktivitas ritual agama saja akan menjadi sempit karena menafikan relasi manusia dengan lingkungan sebagai tempaat berpijak. Kesalehan yang sesungguhnya adalah akhlak yang paripurna karena sesungguhnya agama itu adlaah akhlak yang baik (khusnuk khuluk).
            Akhlak yang baik merupakan akhlak yang di dalamnya mencakup relasi manusia-Tuhan, relasi antarmanusia, dan relai manusia-lingkungan. Manusia dengan lingkungan sesungguhnya terdapat relasi yang sangat erat. Manusia sangat bergantung pada alam, kerusakan alam adalah ancaman bagi eksistensi manusia. Berbeda denga alam, alam tidak memiliki ketergantungan langsung dengan manusia meskipun rusak tidaknya alam dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Ketergantungan manusia akan alam seharusnya menyadarkan manusia untuk senantiasa menjaga dan merawatnya. Cara membangun kesalehan lingkungan erat kaitannya dengan akhlak terhadapa lingkungan. Akhlak bergantung pada pengendalian hawa nafsu. Hal ini berarti kesalehan lingkungan bergantung pada bagaimanna manusia mampu mengendalikan hawa nafsu untuk tidak semena-mena terhadap lingkungan dapat berupa eksplorasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab, ilegal logging, aktivitas yang berakibat pencemaran, dan lain-lain.
2.1.1 Cara-cara membentuk kesalehan lingkungan :
1.      Revatalisasi ajaran agama, bentuk ajaran agama yagn didominasi dogma-dogma yang sempit perlu diperluas. Kontekstualisasi agama perlu diperbanyak agar cakrawala pemikiran dan tindakan lebih luas, tidak hanya sekedar ritual keagamaan saja
2.      Tadabur alam yang kita tempati sungguh eksotik. Birunya laut, gemuruh ombak, hijaunya alam dengan aneka flora dengan faunanya adalah anugrah Tuhan yang tiada tara. Keeksotikan dan keindahan alam adalah modal untuk kita berpikir, merenung, dan bermuara pada aktifitas untuk memanfaatkan, mengelola, dan menjaga dengan penuh tanggung jawab.
3.      Muhasabah dari fenomena alam panas bumi yang semakin meningkat, bencana alam yang sering kita dengar, musim yang tidak teratur, dan rusaknya lapisan ozon adalah fenomena alam yang mestinya menjadi sumber muhasabah bagi setiap individu terhadap berbagai aktivita yang telah dilakukan selama ini.Rusaknya alam pada wilayah tertentu berdampak pada kekacauan lingkungan di seluruh permukaan bumi.
4.      Berpartisipasi dalam program hijau, program hijau semakin banyak variasinya. Ibu rumah tangga bisa langsung melaksanakan prgram hijau dari aktivitas di rumah tangga seperti pengelolaan sampah rumah tangga, pak sopir dapat berpartisipasi dengan membatasi emisi kendaraan bermotornya, pengelolah supermarket perlu mengganti kantong plastik dengan kantong yang dapat didaur ulang, dan lain sebagainya.
5.      Program reward dan punishment  yaitu dengan cara pemerintah memberikan reward kepada siapa saja yang berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan, dan program ini telah dilaksanakan.  Namun program punishment terhadap siapa saja yang melakukan aktivitas yang dapat atau berpotensi merusak lingkungan belum dilakukan dengan tegas.
2.1.2 Prinsip-prinsip kesalehan lingkungan
            Berdasarkan pada beberapa pendapat tentang biosentrisme, ekosentrime, teori mengenai hak asasi alam, dan ekofeminisme, ada beberapa prinsip moral yang relevan untuk lingkungan hidup . Prinsip ini akan menjadi pegannga dan tuntunan bagi prilaku kita dalam berhadapan dengna alam, baik perilaku terhadap alam secara langsung maupun prilaku terhadap manusia yang berakibat tertentu pada alam, dan juga untuk perubahan kebijakan sosial,politik, dan ekonomi untuk lebih pro  lingkungan dan dalam rangka itu untuk mengatasi krisis ekologi sekarang ini.
            Prinsip kesalehan lingkungan bertumpu pada dua unsur pokok dari pendapat biosentrisme dan ekosentrisme. Pertama, komunitas moral tidak hanya dibatasi pada komunitas sosial, melainkan mencakup komunitas ekologi seluruhnya. Kedus, hakikat manusia bukan hanya sebagai makhluk sosial, melainkan juga makhluk ekologisdan relegius.
1.      Muhasabah (Evaluasi Diri)
            Antroposentrisme menghormati lingkungan karena beranggapan bahwa kepentingan manusia bergantung pada kelestarian dan integritas lingkungan. Sedangkan biosentrisme dan ekosentrisme beranggapan bahwa manusia mempunyai kewajban moral untuk menghargai lingkungan dengan segala isinya karena manusia adalah bagian dari lingkungan dan karena lingkungna mempunyai nilai pada dirinya sendiri. Dengan mendasarkan diri pada teori bahwa komunitas ekologis adalah komunitas moral, setiap anggota komunitas manusia ataupun bukan mempunyai kewajiban moral untk saling menghormati. Secara khusus, sebagai pelaku moral, manusia mempunyai kewajiban moral untuk melakukan evaluasi dalam kehidupannya terhadap lingkungan, baik pada manusia maupun pada makhluk lain dalam komunitas ekologis seluruhnya.
            Sebagai bukti nyata adanya evaluasi untuk menjadi lebih baik dalama pengelolaan lingkungan, manusia perlu memelihara, merawat, menjaga, melindungi, dan melestarikan lingkungna beserta seluruh isinya. Secara negatif itu artinya manusia tidak boleh merusak dan menghancurkan lingkungan beserta seluruh isinya, tanpa alasan yang dibenarkan secara moral.   
2.      Murraqobah (Kedekatan kepada pencipta alam)
            masing-masing, Oleh karena itu, manusia sebagai bagian dari alam semesta, mempunyai konsekuensi melakukan murraqobah sebagai bentuk ketaatan dan kesalehan terhadap lingkungan, Karena keseluruhan perilakunya terhadap lingkungan akan dimintai pertanggungajawabannya di hadapan Tuhan.
            Prinsip tanggunag jawab ini menuntut manusia untuk meningkatkan kualitas murraqobah pada Tuhan sebagai bentuk keseimbangan dalam keberlangsungan hidup pada alam semesta dan fana dengan mengambil prakarsa,usaha, kebijakan,dan tindakan nyata secara bersama untuk menjaga alam semesta dengan isinya. Tingkat murraqobah yang semaikn dekat pada Tuhan akan menyadarkan tentang kelestarian dan kerusakan lingkungan merupakan tanggung jawab bersama seluruh umat manusia. Murraqobah juga terwujud dalma bentuk mengingatkan, melarang dan menghukum siapa saja yang secara sengaja atupun tidak sengaja merusak dan membahayakan eksistensi alam smesta, bukan karena  kepentingan manusia tergantung dari eksistensi alam, melainkan karena alam bernilai pada dirinya sendiri.
            atas dasari ini, secara normatif seharusnya tidak perlu terjadi apa yang disebut Garret Hardin sebagai "the tragedy of the commus". Tragedi milik bersama ketika setiap orang merasa selalu berkata, tetapi tidak berubah untuk menjadi contoh, akibat lunturnya nilai Murroqobah.
3.      Muahaddah (Kesatuan)
            semesta, manusia memiliki kedudukan sederajat dan setara degan alam dan semua makhluk hidup lain yang ada di alam ini. Kenyataan ini membangkitkan dalam diri manusia perasaan muahaddah , perasaan sepenanggungna dengan alam dan dengna sesama makhluk hidup lain. Manusia lalu bisa ikut merasakan apa yang dirasakan oleh makhluk hidup lain di alam semeta ini. Manusia dapat merasa sedih dan sakit ketika berhadapan dengan kenyataan yang memilkukan berupa rusak dan punahnya suatu makhluk hidup lain di alam semseta ini.
            Prinsip ini mendorong manusia untuk menyelamatkan lingkungan, untuk menyelamatkan kehidupan di alam ini. Karen alam dan semua yang ada di dalamnya mempunyai nilai yang samadengan kehidupan manusia. Ukhuwak kosmis akan mencegah manusia untuk tidak meruak dan mencemari alam dan seluruh kehidupan di dalamnya, sama seperti manusia tidak akan merusak kehidupannya serta merusak rumah tangganya sendiri, Ukhuwah alam berfungsi sebagai pengendali moral, untuk mengharmoniskan manusia dengan ekositem seluruhnya. Muahaddah dalam komisi ini berfungsi untuk mengontrol perilaku manusia dalam batas-batas keseimbangan ekositem.
            Terbentuknya nilai muahaddah dalam pengelolaan lingkungna telah mendorong manusia untuk mengambil kebijakan yang pro alam,  pro lingkungan, atau menentang setiap tindakan yang merusak alam. Nilai muahaddah dalam bentuk kasih sayang dan kepedulian muncul dari kenyataan bahwa sebagai sesama anggota komunitas ekologis, sesama makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara,tidak disakiti,dan dirawat.  Semakin mencintai dan peduli kepada lingkungan, manusia semakin berkembang menjadi manusia yang matang, sebagai pribadi dengna identitasnya yang kuat.Karena alam memang menghidupkan, tidak hanya dalam pengertian fisik, melainkan juga dalam pengertian mental dan spiritual.
4.      Muaqobah
            Prinsip muaqobah , yang ditekankan adalah nilai, kualitas, cara hidup yang baik, dan bukan kekayaan, sarana, standar material. Yang ditekankan bukan rakus dan tamak mengumpulkan harta dan memiliki sebanyak-banyaknya. Yang lebih penting adalah mutu kehidupan yang lebih mulia di hadapan sang pencipta alam yakni Allah SWT.
            Prinsip ini penting karena, pertama, krisis ekologis sejauh ini terjadi karena pandangan antroposentris yang hanya melihat alam sebagai objek eksploitasi dan pemuas kepentingan hidup manusia. Kedua, krisi ekologis terjadi karena, pola dan gaya hidup manusia modern yang konsumtif, tamak, dan rakus.Tentu saja tidak berarti manusia tidak boleh memanfaatka alam untuk kepentinganya, kalau manusia mengerti kedudukannya sebagai bagian dari integral alam maka manusia akan memanfaatkan alam secukupnya dan menjaganya dengan baik.
            Dengan akal dan budi yang telah dianugrahkan Allah kepada manusia, ia dapat mengelolah bahan mentah yang telah tersedia di bumi, baik di permukaan bumi, diperut bumi, maupun di dalam lautan dan didasarnya. Kesejahteraan hidup besar bergantung pada pandainya manusia mengelola alam lingkungan sesuai dengan tujuan Allah menciptakan itu semua.
وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ ۗ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
"Sesungguhnya Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di muka bumi (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur." (QS Al-A’raf : 10)
وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ
"Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezeki kepadanya." (QS Al-Hijr :20)
Bahkan disediakan untuk manusia itu, bukan saja yang ada di bumi, bahan-bahan keperluan hidup disediakan pula apa yang terkandung di langit seperti : matahari, bintang-bintang, udara, hujan, dan benda-benda lain yang ditundukkan Allah bagi kemudahan manusia dalam mengelola kebutuhan hidupnya.
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir." (QS Al-Jasiyah : 13)
2.2 Islam dan Penyelamatan Lingkungan
            Krisis ligkungan yang terjadi saat ini sebenarnya bersumber pada kesalahan fundamentalis-filosofis dalam pemahaman atau cara pandang manusia terhadap dirinya,alam, dan tempat manusia dalam keseluruhan ekosistem. Kesalahan itu menyebabkan kesalahan pola perilaku manusia, terutama dalam berhubungan dengan alam.
            Aktivitas produksi dan perilaku konsumtif manusia melahirkan sikap dan perilaku eksploitatif. Di samping itu, paham materialisme, kapitalisme, dan pragmatisme dengan kendaraan sains dan teknologi telah ikut mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan.
            Beberapa upaya yang dilakukan untuk penyelamatan lingkungan seperti, penyadaran terhadap masyarakat dan pemangku kepentingan, upaya pembuatan peraturan, kesepakatan internasional, undang-unang maupun melalui penegakan hukum. Penyelamatan melalui pemanfaatan sains dan teknologi serta program-program teknis lain.
            Islam mempunyai konsep yang sangat jelas tentang pentingnya konservasi, penyelamatan, dan pelestarian lingkungan. Konsep Islam tentang lingkungna ini ternyata sebagian telah  diadopsi dan menjadi prisnip ekologi yang dikembangkan oleh para ilmuwan lingkungan. Prinsip-peinsip ekologi ini telah pula dituangkan dalam bentuk beberapa kesepakatan dan inovasi dunia yang berkaitan dengan lingkungan. Akan teap, konsep Islam yang sangat jelas tersebut belum dimanfaatkan secara nyata dan optimal.
            Maka, harus segera dilakukan penggalian secar komprehensif tentang konsep Islam yang berkaitan dengan lingungan serta implementasi dan revitalisasinya. Konsep Islam ini bisa digunakan sebagai dasar bijakann (moral dan spiritual) dalam upaya penyelamatan lingkungna atau dapat disebut sebagai "teologi lingkungan". Sains dan teknologi saja tidak cukupdalam upaya penelamatan lingkungna yang sudah sangat parah dan mengancam eksistensi dan fungsi planet bumi ini. Mengenai pembahasan kekrusakan lingkungan terdapat tiga pusat perhatian (komponen) bahasan yakni Tuhan, manusia, dan alam, yang ketiganya mempunyai kesatuan hubungan fungsi dan kedudukan
2.2.1 Ayat-ayat Al-Qur'an yang Berkaitan dengan Pelestarian Lingkungan :
1. Ar-Rum Ayat 41-42

Artinya :
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). " (QS Ar Rum : 41)
"Katakanlah : Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perlihatkanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS Ar Rum : 42)
2.  Al A’raf Ayat 56-58

Artinya :
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik." (QS Ar-A'raf : 56)
"Dan dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa angin mendung, kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu kami turunkan hujan di daerah itu, maka kami keluarkan dengan sebab hujan itu berbagai macam buah-buahan. Seperti itulah kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran." (QS AR-A'raf : 57)
"Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (kami) bagi orang-orang yang bersukur." (QS AR-A'raf : 58)
3. Sad ayat 27-28

Artinya :
 “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (QS Sad : 27 )
" Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat ma’siat?" (QS Sad : 28)
4. Yunus ayat 101

Artinya :
 “Katakanlah : Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS Yunus :101)
5. Al-Baqarah ayat 164

Artinya :
“ Sesungguhya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya siang dan malam, bahtera yang berlayar dilaut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari berupa air , lalu dengan air itu dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi sungguh (terdapat) tana-tanad (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (QS Al-Baqarah : 164)
6. Al-Qasas Ayat 77

وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ ۖ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya :
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan." (QS  Al-Qasas : 77)
2.3  Pemanfaatan sumber alam
            Lingkungan hidup berupa sumber alam merupakan kekayaan yang disediakan untuk manusia, hendaklah manusia memanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
1.   Tanah dan Air
            Hingga penggunaan mekanisasi yang modern, berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pertanian. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkin tanah memberikan hasil yang berlipat ganda, yaitu peningkatan produksi panen yang berasal dari tanah.
            Allah SWT telah menegaskan pentingnya air bagi makhluk hidup di dunia ini. Sebagian besar aor di bumi ini berasal dari samudera yang luas,melalui siklus hujan, maka air merembes ke sumur,sebagian mengalir ke lembah dan sungai.
            Lebih kurang 200 ayat dalam Al-Qur'an yang menerangkan maslah botani (ilmu tumbuh-tumbuhan) yang menunjukkna pentingnya sektor tersebut. Botani sebagai ilmu yang berdiri sendiri berguna dalam kehidupan manusia, karena dengan pengetahuan itulah manusia dapat mengambil manfaat dari berbagai jenis tumbuh-tumbuhan.Kehadiran tumbuhan itu sendiri merupakan bukti (ayat) adanya Allah Yang Maha Kuasa, Maha Pemelihara, dan Maha Pengasih kepada hamba-hambanya;

أَفَرَأَيْتُمْ مَا تَحْرُثُونَ
"Maka terangkanlah kepadaku tentang yang kamu tanam?" (QS Al-Waqi'ah : 63)

أَأَنْتُمْ تَزْرَعُونَهُ أَمْ نَحْنُ الزَّارِعُونَ
"Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkannya?" (QS Al-Waqi'ah : 64)

لَوْ نَشَاءُ لَجَعَلْنَاهُ حُطَامًا فَظَلْتُمْ تَفَكَّهُونَ
"Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia kering dan hancur; maka jadilah kamu heran tercengang." (QS Al-Waqi'ah : 65)

أَفَرَأَيْتُمُ الْمَاءَ الَّذِي تَشْرَبُونَ
"Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum." (QS Al-Waqi'ah : 68)

أَأَنْتُمْ أَنْزَلْتُمُوهُ مِنَ الْمُزْنِ أَمْ نَحْنُ الْمُنْزِلُونَ
"Kamukah yang menurunkannya dari awan ataukah Kami yang menurunkan?" (QS Al-Waqi'ah : 69)

لَوْ نَشَاءُ جَعَلْنَاهُ أُجَاجًا فَلَوْلَا تَشْكُرُونَ
"Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia asin, maka mengapakah kamu tidak bersyukur?" (QS Al-Waqi'ah : 70)

الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ ۖ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
" Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui." (QS Al-Baqarah: 22)

َلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَسَلَكَهُ يَنَابِيعَ فِي الْأَرْضِ ثُمَّ يُخْرِجُ بِهِ زَرْعًا مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَجْعَلُهُ حُطَامًا ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِأُولِي الْأَلْبَابِ
"Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal." (QS  Az-Zumar: 21)

يُنْبِتُ لَكُمْ بِهِ الزَّرْعَ وَالزَّيْتُونَ وَالنَّخِيلَ وَالْأَعْنَابَ وَمِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۗ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
"Dia (Allah) menumbuhkan bagi kamu dengan air hujan itu tanam-tanaman; zaitun, korma, anggur dan segala macam buah-buahan. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan." (QS  An-Nahl :16)


 
وَاللَّهُ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لِقَوْمٍ يَسْمَعُونَ
"
Dan Allah menurunkan dari langit air (hujan) dan dengan air itu dihidupkan-Nya bumi sesudah matinya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang mendengarkan (pelajaran)." (QS An-Nahl:65)
Artinya tanpa hujan, maka bumi akan menjadi bulan atau gurun sahara yang tandus. Tidak ada tumbuhan yang hidup tanpa air, demikian pula manusia dan hewan . Kita akan mendapatkan bumi akan setandus dan sekering gurun Sahara jika di bumi tidak ada air, maka bumi akan mati.
2.   Hutan
            Hutan berperan sebagai pelindung banjir, longsor, dan penympan persediaan air di pegunungan. Kayu-kayu besar dan daun-daunnya yang rimbun serta akar-akar yang menjalar bersama-sama semak-semak di sekitarnya menampung air hujan yang selalu turun di pegunungan. Betapa buruknya dampak dari penebangna hutan semena-mena tanpa upaya untuk melestarikannya atau meremajakannya kembali. Tanah longsor, air terus-menerus keruh dan banjir besar sering tak terkendali.
            Dari hutan juga dapat diperoleh bermacam-macam hasil untuk keperluan kehidupan, seperti rotan untuk alat-alat rumah tangga, kayu untuk bahan pembuat rumah, kursi, meja, bahan baku kertas, dan sebagainya. Dan juga sebagai tempat perlindungan bagi satwa dan beraneka jenis hewan.
3.   Pertambangan
                        Sumber kekayaan yang berada di dalam perut bumi dikenal sebagai bahan tambang. Baha-bahan tambang itu sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Ayat-ayat al-Qur'an yang mengisyaratkan tentang adanya mineral dalam bumi yang dapat dikeluarkan melalui eksplorasi pertambangan. (QS 57:4) disebutkan :
" Dialah (Allah) yang menjadikan langit dan bumi dalam enam masa, dan Dia bersemayam di atas Arasy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dia beserta kamu di mana saja kamu beraa dan Allah melihat apa yang kamu kerjakan."
            Dengan pengetahuan geologi dan minerologi, sebagian dari isi bumi telah berhasil disingkap dan dapat dinikmati oleh manusia. Isyarat-isyarat tambang ini bisa ditelaah dari (QS 99: 1-2) dan (QS 57: 25) dan sebainya.
2.4 Pencemaran Lingkungan
            Polusi atau pencemaran adalah suatu keadaan di mana kondisi suatu habitat (tempat di mana makhluh itu berada) tidak murni lagi.
macam-macam pencemaran lingkungan :
1.      Pencemaran Tanah
            Pencemaran tanah disebabkan berbagai hal, seperti sampah-sampah plastik, kaleng-kaleng, rongsokan kendaraan yang sudah tua . Plastik tidak dapat hancur oleh proses pelapukan dan besi tua menimbulkan karat, sehingga tanah tidak dapat ditumbuhi tumbuhan.
            Pemakain pupuk yang terlalu banyak, tidak wajar dan tidak menurut aturan yang telah ditentukan dapat juga menyebabkan polusi tanah. Tanah pertanian menjadi kering dan keras.
2.      Pencemaran Udara
                        Pencemaran udara dapat disebabkan oleh asap yang keluar dari pabrik-pabrik dan dari kendaraan bermotor dan dapat juga disebabkan hawa tubuh manusia atau   pemukiman yang terlalu padat dan sesak. Makin besar jumlah penduduk, bersamaan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, makin banyak pula pabrik yang didirikan serta diproduksi mesin-mesin serta kendaraan bermotoruntuk mencukupi kebutuhan penduduk.
2.5 Akar-Akar Krisis Lingkungan
            Makna krisis menurut Merriam-Webster's online Dictionary adalah sebuah peristiwa yang secara emosional penting atau perubahan keadaan secara radikal dalam kehidupan seseorang , situasi yang telah mencapai fase kritis, seperti krisis lingkungan.
1.      Krisis Spiritual
            Krisis spiritual merupakan krisis yang bersifat subyektif, artinya krisis ini tidak berada di dalama obyek-obyek yang nyata dan terlihat. Spiritual atau istilah  Al-Gore human spirit adalah pilar penting yang mengoprasikan seluruh kesadaran manusia termasuk dalam operasi-operasi teknologi, industri, operasi pengelolahan hutan, air, binatang, laut, tanama, dan lain-lainnya yang menjadi lingkungna hidup bagi makhluk Tuhan.
2.      Krisis Alamiah
            Krisis yang disebabkan secara alamiah contohnya Matahari, Matahari telah berjalan miliaran tahun dan telah mempengaruhi sejarah bumi dan seluruh tata surya. Artinya, bencana tentang kepunahan suatu masa baik dalam kurun pra-manusia hingga zaman manusia modern tela mengalami banyak bencana yang mengubah bentuk-bentuk kehidupan di bumi. Menurut Teuku Jacob, sejarah bencana terutama, terutama yang mega dahsyat terjadi secara siklis. Jacob berdasarkan temuan-temuan ilmiah paleontologi mengatakan bahwa siklus mega bencana adalah sekitar 65 juta tahun. Karena dihantam oleh komet dengan kekuatan hampir menyerupai letusan semua gunung berapi di bumi. Bencana ini pernah menimpa bumi di zaman Dinosaurus dan memusnahkan spesies ini. Bencana seperti ini terjadi tanpa melibatkan aktivitas manusia.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
      Akhlak yang baik merupakan akhlak yang di dalamnya mencakup relasi manusia-Tuhan, relasi antarmanusia, dan relai manusia-lingkungan. Manusia dengan lingkungan sesungguhnya terdapat relasi yang sangat erat. Manusia sangat bergantung pada alam, kerusakan alam adalah ancaman bagi eksistensi manusia. Berbeda denga alam, alam tidak memiliki ketergantungan langsung dengan manusia meskipun rusak tidaknya alam dipengaruhi oleh aktivitas manusia. Ketergantungan manusia akan alam seharusnya menyadarkan manusia untuk senantiasa menjaga dan merawatnya. Cara membangun kesalehan lingkungan erat kaitannya dengan akhlak terhadapa lingkungan. Akhlak bergantung pada pengendalian hawa nafsu. Hal ini berarti kesalehan lingkungan bergantung pada bagaimanna manusia mampu mengendalikan hawa nafsu untuk tidak semena-mena terhadap lingkungan dapat berupa eksplorasi sumber daya alam yang tidak bertanggung jawab, ilegal logging, aktivitas yang berakibat pencemaran, dan lain-lain.
Prinsip-prinsip kesalehan lingkungan :
1.   Muhasabah (Evaluasi Diri)
2.   Murraqobah (Kedekatan kepada pencipta alam)
3.   Muahaddah (Kesatuan)
4.   Muaqobah
3.2 Saran
Menjaga lingkungan tetap sehat dan seimbang merupakan kewajiban kita sebagai makhluk yang hidup di dunia ini, kita harus ikut berpartisipasi dalam kegiatan mengenai kesehatan lingkungan, misalnya penghijauan,tadzabur alam, dan lain-lain.



Daftar Pustaka
Abdullah,Mudhofir.,Al-Qur’an & Konservasi Lingkungan, Jakarta, 2010.
Dyayadi, Drs, M.T., Alam Semesta Bertawaf (Keajaiban Sains dalam AL-Qur’an), Yogyakarta, 2008.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar